Justshare, afwan bila ada yg salah atau kurang.. Sedikit berbagi, pendengaran Kutipan al faqir dalam pengajian Buya Yahya dengan Kajian Kitab Al-Hikam Ibnu AThoillah Assakandari & Kitab Mukhtashor Ibnu Abi Jamroh (Ringkasan Shohih Bukhori) setiap senin malam selasa di Masjid Raya ATTAQWA Cirebon : Moqodimah : ♥ Wasiat tentang Syukur :
TAKDIR JODOH – Jodoh adalah salah satu misteri yang selalu dipertanyakan oleh umat manusia. Dan jika seseorang bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang lain. Maka akan terciptalah berbagai jawaban yang berbeda dari mereka. Misalnya saja jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang belum mempunyai tambatan hati. Mungkin mereka akan menjawab tentang jodoh dengan kriteria sempurna. Misalnya jodoh yang tampan, mapan, dan shaleh/shalihah, punya beberapa hafalan, mempunyai keturunan atau nasab yang baik. Dan banyak lagi yang lahir dari angannya. Berbeda lagi jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang sudah mempunyai seseorang redpacar, tambatan hati. Mereka menjawabnya akan lebih condong kepada karakter seseorang yang diyakini mereka akan menjadi pendampingnya kelak. Mereka tidak peduli lagi akan kelebihan dan kekurangan yang sebelumnya dimiliki oleh tambatan hatinya itu, yang jelas seperti dia. Jawaban ini juga akan berbeda lagi jika kamu menanyakan tentang jodoh kepada seseorang yang sudah menikah atau bahkan mempunyai momongan. Mereka akan menjawabnya dengan sangat sederhana, seperti yang penting seorang muslim, shalih/shalihah, serta mampu berperan dalam keluarga. Seperti itulah jawaban-jawaban yang akan muncul jika kita bertanya tentang jodoh. Beragam jawaban akan muncul dan tentunya itu tergantung dengan persepsi masing-masing orang yang dipunyai. Mereka hanya berusaha memberikan jawaban secara subjektif sesuai dengan apa yang mereka tahu. Berbicara tentang Jodoh, bagaimana cara pandang Islam dalam mengungkapkan rahasia di dalamnya? Apakah Jodoh merupakan takdir yang telah digariskan? Tetapi kenapa Rasulullah juga memberikan kita pilihan untuk memilih jodoh yang kita inginkan? Kenapa begitu banyak nasehat yang menyarankan agar kita lebih berhati-hati dalam memilih calon pendamping kita? Dikarenakan hal itu pula, masih banyak manusia yang khawatir tentang jodohnya. Malah banyak yang dikarenakan hal tersebut malah memilih jalan setan seperti pacaran sebagai bentuk “ikhtiar” tentang jodoh. Padahal hal tersebut benar-benar salah. Dilain pihak, ada yang menghindari hal tersebut. Namun sangat sedikit upaya dalam ber”ikhtiar” yang benar sehingga pada umur yang semakin bertambah, dia tidak kunjung mendapatkan jodoh. Kenapa hal ini terjadi? Sebenarnya jodoh itu pilihan atau takdir sih? Padahal sesungguhnya Allah telah membocorkan persoalan tentang jodoh ini kepada kita melalui ayatnya Al-Qur’an Surat An Nur ayat 26 yang berbunyi Artinya Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Qs. An Nur26 Jika melihat dari potongan ayat Al-Qur’an diatas dapat dikatakan bahwa Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Sedangkan laki-laki yang tidak baik juga untuk wanita yang tidak baik. Sungguh merupakan sebuah rahasia yang sebenarnya sudah lama terungkap jika kita mau mengkaji agama kita lebih dalam. Karena dengan hal tersebut sesungguhnya kita sekarang dapat meyakini, memahami, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalam ayat tersebut. Bagaimana? Tidak sulit bukan jika kita ingin memahami jodoh dari kacamata kita sebagai seorang muslim. Di dalam agama Islam, jodoh itu berarti seseorang yang telah tertulis namanya di Lauh Mahfuz bahkan jauh sebelum kita manusia diciptakan ke dunia dimana dia akan ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup kita di dunia ini. Namun bukannya kita tidak bisa memilih tentang jodoh karena yang tertulis di Lauh Mahfudz itu merupakan banyak pilihan jalan. Dan itu sebenarnya merupaka hasil dari sikap dan akhlaq kita dalam menanggapi kehidupan yang sementara ini. Jadi jodoh merupakan hal telah tertulis di Lauh Mahfudz,namun kita bisa memilih dengan siapakah kita akan nanti berjodoh. Tentunya pengaruh ahklaq dan sikap kita di dunia akan menentukannya. Seperti soal rejeki yang dimana hasilnya adalah merupakan faktor dari setiap usaha, ikhtiar, dan doa kita kepada Allah. Begitu juga dampak dari rezeki tersebut dimana itu juga terpengaruh dari jalan kita dalam memilih apakah rezeki yang kita ambil merupakan rezeki halal atau haram. Jadi apakah kamu masih bingung dalam memilih atau mendapatkan jodoh? Karena sesungguhnya jodoh yang akan datang kepadamu merupakan hasil dari setiap doa dan usaha kamu. Jika ingin mendapatkan jodoh yang membawa kamu kepada kebahagiaan dan keberkahan dari Allah, maka dapatkanlah dia dengan berusaha dulu mendapatkan cinta Allah. Rahasia Memilih Jodoh Dalam Islam Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” HR Bukhari dan Muslim. Dikatakan disini bahwa seorang laki-laki muslim dalam memilih seorang wanita yang baik untuk dijadikan istrinya aka nada 4 faktor yang harus diperhatikan. Yaitu Agama, martabat, harta, dan kecantikan. Dan ketahuilah bahwa Rasulullah mengharuskan kita untuk memilih agama dan kualitasnya terlebih dahulu, Baru tiga faktor yang lain bisa menyusul. Begitu pula dengan pihak wanita. Wanita dalam menerima pinangan laki-laki atau memilih calon pemimpin keluarganya kelak juga harus memperhatikan hal diatas. Ketaqwaan calon pria yang ingin menikahinya harus menjadi pilihan utama. Dan tentunya sebenarnya seseorang yang datang kepadamu untuk menikahi kamu atau seseorang yang akan kau nikahi merupakan cerminan daripada kamu itu sendiri. Jadi jika kamu ingin mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada seseorang yang telah datang kepadamu, kamu bisa ikhtiar dengan mengubah setiap akhlaq untuk lebih baik dan berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan pasangan yang baik agamanya. Yang sanggup membimbing kita kepada surga Allah. Hubungan Jodoh dan Cerai Mungkin akan banyak yang berpikir, jika seseorang yang kita nikahi, lama mendampingi kita, merupakan cerminan dari diri kita sendiri, dan bisa katakana dia adalah jodoh kita. Kenapa ada banyak orang di dunia ini yang akhirnya memutuskan untuk bercerai atau berpisah? Dari sini kita kembali kepada yang namanya takdir. Bahwa sebenarnya di Lauh Mahfudz kita telah dituliskan banyak pilihan tentang jalan hidup apa yang akan kita jalani. Itulah hak manusia yang kita miliki. Yaitu kita mempunyai kewajiban dalam “memilih” tentang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam hidup kita. Tentunya setiap pilihan tersebut sebenarnya memang telah tertulis dan ada jalan sendiri-sendiri termasuk urusan jodoh. Rasulullah telah memberikan kita petunjuk dan juga nasihat untuk memilih pasangan hidup. Namun jika kita masih memilih pasangan hidup kita yang tidak sesuai dengan petunjuk tersebut, sesungguhnya kita sedang berlarut diri daripada nafsu dan ego. Maka dari itu jika pasangan hidup kita malah membawa kita menjauh diri dari Allah, jangan salahkan Allah yang telah menuliskan takdir. Karena semua itu sebenarnya sudah sesuai daripada apa yang telah kamu pilih sebelumnya. Apa dengan cara yang baik dan halal sesuai Islam atau dengan cara maksiat. Bukankah Allah sudah memperingatkan.. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan , atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan merasa benar dulu, belum tentu Allah meridhai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridhai yang baik-baik saja. Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun di balik kehendak-Nya tadi, tidak kah kita takut Allah berkata.. “Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi. Namun kau juga harus mempertanggung jawabkan semua ini di akhirat nanti” Jadi, kembali kepada diri masing-masing ya kawan dalam mendapatkan jodoh. Nah itulah Takdir Jodoh menurut pandangan Islam. Semoga tulisan ini dapat membuka mata hati kamu agar tidak galau lagi dan juga bersemangat menjemput pasangan dengan penuh keridloannya. Aamiin Waallahualam HR Imam Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah “Empat hal yang menghalangi rizki; tidur di waktu pagi, sedikit sholat, malas, khianat.” Ibnu Qayyim Barangsiapa yg kebaikannya membuat dia senang dan kesalahannya membuat dia susah (menyesal) maka dia seorang mukmin. HR. Ahmad, Ibnu Hibban Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. The hustle and bustle of the modern era, marked by an easy life, is relatively only able to provide physical pleasure, but is unable to provide physical and spiritual happiness. The phenomenon of life that is not balanced with this level of happiness, causes a void. The purpose of this study was to determine the meaning and ways of obtaining happiness according to Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, as well as its relevance to human life in the modern era. This research is a qualitative research that uses a library research approach. The analytical method used is a content analysis technique. The conclusion of this study, shows that the happiness referred to by Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari divided happiness in two dimensions, namely happiness in the World and happiness in the hereafter. Happiness actually exists in human. Happiness will be realized when humans are able to optimize the potential of the mind and the potential of the heart. The path to happiness can be attained by knowing the characteristics of the wordly life and suffering and reducing pleasures. Moral perfections will lead humans to true happiness, namely meeting Allah SWT in a state of faith. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 180 Kebahagiaan Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Ade Anang Suhada1, Muliadi2, Dodo Widarda3 1,2,3 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia adeanangsuhada98 muliadi1 dodowidarda Abstract The hustle and bustle of the modern era, marked by an easy life, is relatively only able to provide physical pleasure, but is unable to provide physical and spiritual happiness. The phenomenon of life that is not balanced with this level of happiness, causes a void. The purpose of this study was to determine the meaning and ways of obtaining happiness according to Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, as well as its relevance to human life in the modern era. This research is a qualitative research that uses a library research approach. The analytical method used is a content analysis technique. The conclusion of this study, shows that the happiness referred to by Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari divided happiness in two dimensions, namely happiness in the World and happiness in the hereafter. Happiness actually exists in human. Happiness will be realized when humans are able to optimize the potential of the mind and the potential of the heart. The path to happiness can be attained by knowing the characteristics of the wordly life and suffering and reducing pleasures. Moral perfections will lead humans to true happiness, namely meeting Allah SWT in a state of faith. Keywords Happiness, Heart potential, Library research, Mind potential, Morals. Abstrak Ingar-bingar yang terjadi di era modern, ditandai dengan kehidupan yang serba mudah, relatif hanya mampu memberikan kesenangan lahiriah semata, namun tidak mampu memberikan kebahagiaan jasmani dan rohani. Fenomena kehidupan yang tidak seimbang dengan tingkat kebahagiaan ini, menyebabkan suatu kehampaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan cara memperoleh kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, serta relevansinya dengan kehidupan manusia di era modern. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 181 menggunakan pendekatan studi pustaka library research. Metode analisis yang digunakan merupakan teknik analisis konten content analysis. Hasil dan pembahasan penelitian ini, menunjukan bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari merujuk pada kebahagiaan dua dimensi, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan tersebut sejatinya telah ada di dalam diri manusia. Kebahagiaan akan terwujud ketika manusia mampu mengoptimalkan potensi akal dan potensi hati. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan bisa diraih dengan mengenal karakteristik kehidupan dunia serta menekan dan mengurangi berbagai kesenangan. Kesempurnaan akhlak akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki, yaitu berjumpa dengan Allah SWT dalam keadaan iman. Kata kunci Akhlak, Kebahagiaan, Potensi akal, Potensi hati, Studi pustaka. Pendahuluan Manusia tidak terlepas dari berbagai macam persoalan dan problematika kehidupan. Tidak hanya itu, kehidupan manusia pun selalu diwarnai dengan berbagai macam keinginan dan harapan. Harapan terbesar manusia adalah kebahagiaan Hamim, 2016. Keanekaragaman manusia, serta dinamika kehidupan yang berbeda-beda menjadi salah satu faktor perbedaan makna kebahagiaan. Bagi sebagian orang, harta kekayaan adalah suatu kebahagiaan, sebagian lainnya beranggapan bahwa karir dan jabatan adalah kebahagiaan, bahkan terhindar dari berbagai macam masalah sekalipun adalah kebahagiaan. Jika kehidupan tidak seimbang dengan tingkat kebahagiaan, kehidupan manusia akan berdampak pada kehampaan Iman Setiadi Arif, 2018. Abad ke-21 ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi yang semakin cepat dan serba memadai. Namun, hal tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam tercapainya kebahagiaan. Di zaman modern, banyak manusia yang dilanda kegelisahan, kecemasan, stress, dan berbagai macam penyakit kejiwaan Tamami, 2011. Orientasi terhadap materi dan keduniaan, tampaknya hanya menambah beban dan menyebabkan disorientasi terhadap makna kebahagiaan itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr, bahwa manusia modern tengah mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan mengalami keterasingan, hal tersebut menyebabkan manusia modern kehilangan harapan akan kebahagiaan di masa depan seperti yang dijanjikan oleh renaisans, pencerahan, saintisme serta teknologisme Haidar Bagir, 2006. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 182 Di saat materialisme menguasai kehidupan manusia, telah terjadi redefinisi terhadap ukuran kebahagiaan. Hal ini ditandai dengan bunuh dirinya seorang aktor terkenal peraih Oscar, Robin William. Komponen-komponen yang selama ini dianggap sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesan, seperti kekayaan dan kekuasaan, perlu untuk diartikan secara lebih mendasar Muskinul Fuad, 2018. Terdapat banyak penelitian terdahulu yang membahas kebahagiaan, baik dari sudut pandang tasawuf maupun filsafat. Penelitian tersebut antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Ida Rodiah 2017 yang berjudul “Konsep Kebahagiaan Menurut Hamka.” Esensi penelitian tersebut adalah kebahagiaan bisa diperoleh melalui empat hal, yaitu iman dengan sebenar-benarnya, agama, keinginan yang bersih, dan mempunyai keyakinan Ida Rodiah, 2017. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Jarman Arroisi 2019 yang berjudul “Bahagia dalam Perspektif al-Ghazali” yang diterbitkan dalam Kalimah Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam Universitas Darussalam Gontor. Jarman Arroisi 2019 menjelaskan, kebahagiaan merupakan suatu perasaan yang timbul dalam jiwa seseorang melalui perjuangan bersunguh-sungguh. Jalan untuk menempuhnya ialah makrifat an-nafs dan puncaknya ialah makrifat Allah. Kebahagiaan ini akan dirasakan setelah mencapai kesempurnaan jiwa rasionalnya. Jiwa rasional tersebut akan seimbang dengan cara menjaga amalan-amalan baik ketika di dunia. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan jiwa natural yang diperoleh melalui riyadhoh dan mujahadah dan bukan terletak pada materi Jarman Arroisi, 2019. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Endrika Widdia Putri 2018 dengan judul “Konsep Kebahagiaan Menurut al-Farabi” yang dimuat dalam Jurnal Tsaqafiyyat UIN Sunan Kalijaga. Penelitian ini menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan kebaikan untuk kebaikan itu sendiri dan merupakan tujuan akhir dari segala aktivitas di muka bumi. Orang yang hendak mencapai kebahagiaan, terlebih dahulu harus memperbaiki akhlaknya. Semakin baik akhlak seseorang, maka jalan kebahagiaan akan semakin dekat Putri, 2018. Kebahagiaan bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sudah ada sejak zaman dahulu, dan telah mengalami berbagai macam perubahan konsep Putri, 2018. Salah satu tokoh yang membahas kebahagiaan ialah Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Dalam pandangannya, kebahagiaan selalu erat kaitannya dengan suasana dan kondisi hati manusia. Semakin baik manusia dalam mengelola hatinya, maka kebahagiaan pun menjadi semakin tinggi. Artinya kebahagiaan sejatiya terletak di dalam diri manusia itu sendiri. Syeikh Ibnu Atha’illah mengaitkan kebahagiaan dengan kehidupan, kehidupan ini diibaratkan sebagai tempatnya berbagai macam penderitaan. Sehingga manusia tidak perlu berasumsi bahwa dunia adalah tempat berbagai macam kesenangan, karena hal tersebut dapat memutus antara hubungan hamba dengan Allah SWT. Orang yang bahagia adalah Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 183 orang yang menjadikan dunia sebagai ladang dan bekal untuk kehidupan akhirat Ibnu Athaillah as-Sakandari, 2013. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Buya Hamka, bahwasannya kebahagiaan terletak pada diri manusia itu sendiri, akan tetapi tidak sedikit manusia yang meganggap kebahagiaan terletak pada kekayaan, harta, jabatan, dan kehidupan yang mewah. Alhasil, kebahagiaan sulit untuk didapatkan Arrasyid, 2020. Sudah menjadi fitrah manusia akan terpenuhinya segala kebutuhan fisik dan materi. Namun, kebahagiaan tidak hanya terbatas dalam terpenuhinya segala kebutuhan fisik melainkan ada kebahagiaan yang paling penting yaitu kebahagiaan rohani, kepuasan dan ketenteraman hati. Haidar Bagir dalam salah satu karyanya mengatakan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia perlu menekan kebutuhan dan mengurangi keinginan yang belum tentu tercapai Bagir, 2015. Dengan itu, terpenuhinya kebutuhan akan menjadi semakin berkurang, demikian juga dengan ketidakbahagiaan. Setiap tokoh mempunyai cara tersendiri dalam mendefinisikan kebahagiaan tergantung dari sudut pandang mana dan kondisi apa mereka menilai. Syeikh Ibnu Atha’illah melalui untaian hikmah di dalam kitab Al-Hikam, sudah tidak diragukan lagi akan kepiawaiannya dalam membahas kebahagiaan secara universal. Sehingga peneliti berusaha membahas konsep kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan cara memperoleh kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, serta relevansinya dengan kehidupan manusia di era modern. Diharapkan penelitian ini bisa memberikan sumbangsih pada khazanah ilmu pengetahuan, khususnya pada jurusan Tasawuf dan Psikoterapi. Serta menambah wawasan pada mahasiswa dalam memandang kehidupan dan mendefinisikan kebahagiaan. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme dan digunakan untuk meneliti obyek alamiah. Hasil penelitiannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik, akan tetapi melalui pengumpulan data, analisis, dan interpretasi Albi Anggito, 2018. Berbeda halnya dengan penelitian kuantitatif yang dalam pengambilan datanya selalu menggunakan bilangan angka. Hal ini berlandaskan pada filsafat positivisme yang memandang gejala, fenomena, serta realitas sebagai sesuatu yang konkret, terukur, teramati, dan dapat diklasifikasikan. Sehingga data yang dikumpulkan menggunakan instrumen penelitian, dan analisis data yang bersifat statistik Sugiyono, 2017. Sumber utama dalam penelitian ini adalah kitab al-Hikam dan beberapa karya dari Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Selain itu, berbagai data dan informasi seperti karya Imam Ghazali, Muhammad Said Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 184 Ramadhan al-Buthi, Hamka, dan yang lainnya dijadikan sebagai sumber data sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka library research. Analisis yang digunakan merupakan teknik analisis konten content analysis. Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan konsep atau kata yang ada di dalam teks atau rangkaian teks Gusti Yasser Arafat, 2018. Selain itu, teknik ini dapat digunakan untuk menganalisis informasi baik tertulis, audio, dan visual. Seperti artikel, surat kabar, radio dan televisi Afifudin, 2012. Pertama-tama peneliti mengumpulkan berbagai data dan informasi dari sumber literatur, baik primer maupun sekunder Darmalaksana, 2020. Setelah tersaji, peneliti mengambil data-data yang sesuai untuk mempermudah penarikan sebuah kesimpulan. Hasil dan Pembahasan 1. Biografi Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari lahir di Iskandariyah, Mesir. Sebuah kota yang berada di pesisir perserikatan republik Arab. Beliau lahir pada pertengahan abad ke-7 H./ ke-13 M. dan wafat pada tahun 709 H./ 1309 M. Syeikh Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Husein Atha’illah as-Sakandari adalah nama lengkapnya. Abd al-Karim merupakan nama kakeknya yang dikenal sebagai ahli fikih pada masanya, sedangkan ayahnya bernama Muhammad Ibn Abd al-Karim merupakan pengikut setia dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili. Sejak kecil, Syeikh Ibnu Atha’illah sudah mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan terutama pemikiran-pemikiran dari Imam Malik. Perjalanan keilmuannya diawali dengan mempelajari ilmu al-Quran, tafsir, fikih, ilmu tata bahasa, serta teologi Asyariyah kepada para Syeikh di Mesir Danner, 1999. Kecerdasan yang dimiliki oleh Syeikh Ibnu Atha’illah mampu menyita perhatian para ulama pada masa itu dan membandingkannya dengan sang kakek yang sangat terkenal dalam bidang fikih. Pada awalnya, Syeikh Ibnu Atha’illah tidak menempuh jalan sufi seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Namun, gencarnya gerakan sufisme pada saat itu, sangat berpengaruh terhadap spiritual beliau di masa mendatang. Sebagai ahli fikih yang terkenal, Syeikh Ibnu Atha’illah mempunyai pandangan yang jauh berbeda dengan para sufi, bahkan beliau berperan sebagai tokoh antagonis. Syeikh Ibnu Atha’illah sering beradu argumen dengan murid dari Syeikh Abul Abbas al-Mursy tokoh tarekat Syadziliyyah pada masa itu, bahkan beliau pernah mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dicari selain hukum syariat Danner, 1999. Pada awal tahun 674 H./ 1276 M., Syeikh Ibnu Atha’illah pergi menemui salah seorang guru untuk mendiskusikan berbagai aspek keislaman yang berbeda. Di sanalah Syeikh Ibnu Atha’illah bertemu Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 185 dengan Syeikh Abul Abbas al-Mursy. Tahun tersebut menjadi tahun yang sangat berpengaruh dan menjadi awal perubahan kehidupan beliau. Meskipun Syeikh Ibnu Atha’illah telah menempuh jalan tarekat, akan tetapi tidak membuatnya berhenti mempelajari ilmu hukum fikih. Syeikh Abul Abbas al-Mursy memprediksi bahwa Syeikh Ibnu Atha’illah akan menjadi ulama besar yang faqih dan zahid. Perkataan Syeikh Abul Abbas al-Mursy menjadi kenyataan, hal ini dapat dilihat dari gelar yang disandangnya. Syeikh Ibnu Atha’illah adalah seorang imam yang diberi gelar “mahkota agama” tajuddin, karena beliau mampu menghimpun serta memadukan kaidah-kaidah ilmu syariah dengan prinsip penyucian hati Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, 2020. Transformasi Syeikh Ibnu Atha’illah dari seorang fakih menjadi seorang guru sufi tidak mudah untuk diketahui. Nama beliau masih terkenal sebagai seorang ulama syariah yang sangat terkemuka. Akan tetapi, beliau mampu mengejawantahkan syariah dengan hakikat. Esensi pengejawantahan tersebut adalah sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai belenggu hawa nafsu dan keduniaan serta mampu mengangkat derajat manusia di hadapan Allah SWT Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, 2020. Akhir masa hidupnya beliau curahkan sebagai pengajar hukum-hukum madzhab Maliki di Universitas al-Azhar dan madrasah-madrasah yang berada di sekitar al-Manshuriyah. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syeikh Syihabuddin Ibn Maylaq w. 749 H./ 1349 M., dan Syeikh Taqiyyuddin as-Subki w. 756 H./ 1355 M.. Syeikh Ibnu Atha’illah juga berperan sebagai Syeikh tarekat Syadziliyah yang cukup produktif dalam menuangkan buah pemikirannya dalam bentuk tulisan. Sehingga beliau menjadi guru pertama tarekat Syadziliyah yang menggunakan pena dan kertas sebagai media dalam menyebarkan dan mengklarifikasikan ajaran-ajaran tarekat Syadziliyah. Salah satu karyanya yang sangat terkenal ialah al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan magnum opus yang di dalamnya berisikan aforisme-aforisme yang menyejukan dan menggugah hati serta menjadi pijakan dasar doktrin sufi. Kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis sewaktu Syeikh Abul Abbas al-Mursy masih hidup. Selain itu beliau juga menulis kitab Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, at-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, Lathaif fi Manaqib Abi al-Abbas al-Mursy wa Syeikh Abi Hasan, Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus dan beberapa tulisan lainnya yang ditulis dalam bentuk risalah yakni uraian singkat dan padat Mudin, 2016. Tulisan-tulisan di atas dianggap sebagai karya yang perenial pada dunia Islam, khususnya di kalangan umat mendatang. Meskipun Syeikh Ibnu Atha’illah telah wafat pada tahun 709 H./ 1309 M., akan tetapi corak dan otoritas karyanya selalu menarik perhatian para salik di seluruh belahan dunia Danner, 1999. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 186 2. Kebahagiaan Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Kebahagiaan dilihat dari berbagai sudut pandang, masih belum mencapai titik final. Para filosof seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan Epicurus memandang bahwa kebahagiaan adalah puncak pencapaian tertinggi. Dimana, kebahagiaan yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada penilaian subjektif semata, seperti kegembiraan dan kesenangan, akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia meliputi sosial, moral, emosional dan spiritual Bertens, 2015. Kebahagiaan dalam bahasa Inggris disebut dengan happy, sedangkan dalam al-Quran kebahagiaan disebut dengan istilah sa’adah, falah, najat dan najah Hamim, 2016. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI bahagia diartikan dengan suatu keadaan, perasaan senang dan tenteram Dendi Sugono, 2008. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memandang bahwa kebahagiaan adalah kondisi hati manusia yang selalu taat dan patuh dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2003. Kebahagiaan yang dimaksud merujuk pada kebahagiaan dua dimensi, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Karakteristik orang yang bahagia, selalu tercermin dari kondisi dan situasi hati. Kondisi hati sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan, karena hati merupakan sumber dari kebahagiaan dan penderitaan Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Konsep kebahagiaan tidak hanya terfokus pada kebahagiaan dunia, akan tetapi dibahas pula konsep kebahagiaan di akhirat, sama halnya dengan yang disampaikan oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Dunia merupakan tempat yang amat berpengaruh dalam tercapainya kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari menyampaikan, ada dua tipe manusia dalam menyikapi dunia. Kedua tipe ini sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan yang hendak dicapai manusia. Pertama, manusia yang mengatur dunia untuk urusan dunia. Kedua, manusia yang mengatur urusan dunia untuk keperluan akhirat. Tipe manusia pertama, menggambarkan ketamakan manusia, yang senantiasa mengumpulkan harta demi kesenangan semata, tanpa memandang aspek kehalalan dan keharamannya. Tipe ini menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari tidak akan mengantarkan pada kebahagiaan, sebaliknya, sikap tersebut hanya akan mengantarkan manusia pada ketamakan dan kehancuran, karena tujuan utama yang ingin diperolehnya ialah memperkaya diri. Jika hartanya semakin bertambah, maka ia akan semakin terlena dan lupa kepada Allah SWT, sebaliknya jika hartanya hilang dan berkurang menyebabkan kesedihan yang luar biasa, seperti halnya realita yang ditemukan dalam kehidupan ini. Ikhtiar dalam mencari urusan dunia merupakan esensi dari tipe manusia yang kedua. Orang yang mengurus urusan dunia untuk keperluan akhirat dan ibadahnya, tidak dilandasi tujuan untuk menimbun harta dan menguasai dunia. Hal tersebut Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 187 dilakukannya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keridaannya. Manusia tipe kedua ini sangat memahami, bahwa dunia adalah ujian dan fitnah besar. Ia jadikan dunia sebagai media untuk memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat Ibnu Atha’illah As-Sakandari, 2013. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah dituangkan dalam berbagai tulisan yang bisa kita temukan dalam karya-karyanya. Kitab al-Hikam merupakan salah satu kitab yang ditulis oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Di dalamnya terdapat banyak aforisme yang menggugah dan menyejukan hati. Konsep kebahagiaan pun disajikan lewat aforismenya di dalam kitab al-Hikam, dan beberapa karya yang lainnya. Konsep kebahagiaan yang pertama, dijelaskan dalam hikmah ke-24, yang berbunyi  Artinya Janganlah engkau merasa heran dengan banyaknya kekeruhan yang dijumpai selama masih hidup di dunia. Sebab dunia ini adalah tempat untuk menampakan berbagai hal yang layak disifati dengan kekeruhan, dan hal-hal yang seharusnya digambarkan demikian Ashim Ibrahim al-Kayyali, 2018, p. 47. Hikmah di atas berkaitan dengan karakteristik kehidupan. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia terbagi ke dalam dua aspek penting yaitu aspek duniawi dan aspek ukhrowi. Kedua aspek ini sangat dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Keseimbangan antara keduanya menjadi tolak ukur untuk mencapai kehidupan yang harmonis serta tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani. Pada kenyataannya, masyarakat Islam pada khususnya masih belum mampu merealisasikan kedua aspek tersebut karena ketidakpahaman akan hakikat kehidupan itu sendiri M. Ma’ruf, 2019. Hikmah Syeikh Ibnu Atha’illah ini, menjelaskan bahwa kelaziman dari karakteristik dunia adalah tempat berbagai kesulitan dan penderitaan. Hikmah ini senada dengan apa yang dikakatakan oleh Ja’far ash-Shadiq bahwa barang siapa yang mencari sesuatu yang belum pernah diciptakannya, sama saja dengan menyiksa diri sendiri karena tidak akan pernah mendapatkannya. Lalu, ditanyakan apa yang tidak akan pernah didapatkannya itu? Ja’far ash-Shadiq menjawab, “kenyamanan di dunia” Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Hikmah ini menegaskan sebuah kenyataan bahwa kenikmatan dunia seringkali bercampur dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang bersifat intimidasi. Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah, Allah menakdirkan dunia dengan sifat dan kondisi seperti itu, setidaknya terdapat dua hikmah yang terkandung di dalamnya. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 188 Pertama, Allah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan medan yang penuh dengan beban, adalah untuk menginformasikan kembali tujuan diciptakannya manusia. Urgensi dari penciptaan manusia dalam segala aspek kehidupan ini adalah untuk mempraktikan bukti penghambaannya kepada Allah SWT. Baik dilakukan dengan cara patuh terhadap segala perintahnya, hukum-hukumya, maupun dengan cara tunduk terhadap segala kekuasannya. Ketika manusia berasumsi bahwa kehidupan ini hanya berisi dengan kenikmatan dan kebahagiaan, terhindar dari kekeruhan dan beban penderitaan, maka dengan cara apa manusia akan merespon penghambaannya kepada Allah SWT. Padahal, bentuk dan cara penghambaan manusia kepada Allah selalu bersifat pilihan Al-Buthi, 2020. Manusia adalah makhluk yang mempunyai beban kewajiban. Praktik penghambaan manusia adalah buah dari pembebanan taklif tersebut. Tidak dikatakan pembebanan jika dalam prosesnya tidak ada kesulitan dan beban yang ditanggungnya. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya al-Hikam al-Atha’iyyah mengatakan, jika perjalanan kehidupan hanya sekadar kehidupan yang datar dan monoton, dengan dibaluti oleh kenikmatan dan kebahagiaan semata, itu merupakan sebuah kontradiksi Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Karena letak pembebanan seorang hamba menjadi tidak tampak. Buah dari pembebanan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah adalah kesabaran dan rasa bersyukur. Dengan kedua beban inilah manusia mempraktikan penghambaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT, yang berbunyi  Artinya Kamu benar-benar akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan kamu benar-benar akan mendengar banyak hal yang menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, sesungguhnya yang demikian itu adalah urusan yang diutamakan QS. Ali-Imraan 186. Kedua, kehidupan dunia hanya kehidupan sementara dan dibatasi dengan ujian. Alur kehidupan tidak selamanya bersifat nikmat dan senang. Tetapi selalu diiringi dengan berbagai kesulitan dan kekeruhan. Ujian yang diterima manusia sewaktu di dunia adalah untuk memperoleh reward atau balasan menghadapi kehidupan akhirat. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Abd Al-Qadir Abu al-Faris, bahwa kehidupan di dunia adalah medan segala bentuk ujian dan akhirat adalah tempat memperoleh Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 189 balasan Lilik Ummi Kultsum, 2018. Kehidupan dunia hanya membuat manusia terlena dan lupa akan balasan terbesar Allah SWT, berupa kebahagiaan di akhirat. Dalam pandangan Syeikh Ibnu Atha’illah, kehidupan dan manusia mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut dibangun atas dasar kasih sayang dan kelemahlembutan. Kehidupan dunia adalah titipan dari Allah SWT, artinya manusia harus menyayangi kehidupan ini atas dasar kasih sayang-Nya. Tidak menjadikan kehidupan dunia terus melekat pada hatinya, dan tidak mempunyai rasa penyesalan ketika meninggalkannya Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Selama menjalani kehidupan, manusia tidak akan terlepas dari urusan-urusan dunia. Syeikh Ibnu Atha’illah menyebutnya dengan al-aghyar Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Bahkan, manusia dituntut untuk senantiasa berkecimpung di dalamnya. Menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang untuk meraih dan menggapi rida-Nya, merupakan kewajiban manusia. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali, kebahagiaan dunia adalah jalan untuk bisa merasakan kebahagiaan di akhirat, karenanya menjadi kewajiban manusia untuk mengenali dunia, ilmu-ilmu dunia, dan karakteristik yang ada di dalamnya. Perilaku menjauhi dan tidak mengenal dunia sama saja dengan menjauhkan manusia dari kebahagiaan hidup di dunia Rusfian Effendi, 2017. Syeikh Ibnu Atha’illah tidak menyarankan manusia untuk lari meninggalkan kehidupan dunia. Hanya saja, kehidupan manusia jangan sampai menjadikan manusia tunduk pada keinginan-keinginan hawa nafsu yang sementara. Para ulama menyebutnya dengan istilah al-Khalwah fi al-Jilah. Maksud dari istilah tersebut, menurut Syeikh Ibnu Atha’illah bukan khalwat dalam arti menyendiri dan meninggalkan keramaian dunia dan masyarakat sekitar. Tetapi, khalwat yang disyariatkan dan dicintai-Nya ialah terjun langsung dalam kehidupan dunia tetapi tidak hanyut dan tidak terlena. Artinya manusia harus menjadi pemeran utama dalam mengatur dan mengendalikan kehidupan dunia, bukan manusia yang dikendalikan oleh kehidupan dunia. Lari dari berbagai urusan dan kekeruhan dunia, tidak termasuk solusi. Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah perilaku tersebut mencerminkan orang yang tidak tahu akan hakikat kehidupan dunia. Kekeruhan dan segala urusan bisa memutuskan hubungan baik antara sesama manusia, bahkan memutuskan hubungan manusia dengan Allah SWT, bahkan diri manusia sendiri pun termasuk urusan dan kekeruhan dunia. Kekeruhan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah tidak hanya sebatas materi semata, termasuk kekeruhan yang bersifat immateri. Ketidaktahuan akan hakikat ini, mampu mendorong manusia untuk lari dari kenyataan, bahkan manusia mengatakan “aku akan lari dan membebaskan diri dari kekeruhan dan urusan ini, lalu akan menyendiri Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 190 dan menyepi ditengah-tengah sunyi” Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Kesadaran dan pengetahuan manusia begitu dibutuhkan dalam menghadapi kenyataan hidup. Dengan demikian, manusia akan mampu menerima berbagai kondisi, baik senang maupun susah. Ia akan menjalaninya dengan penuh keihklasan dan kedamaian. Orang yang memahami realitas kehidupan di dunia ini, akan terus merasakan ketenangan baik ketika mendapatkan kenikmatatan maupun ketika dilanda kekeruhan termasuk kesengsaraan dan kesedihan. Karena itulah hakikat dan karakter dari kehidupan dunia. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang kedua, terdapat dalam hikmah yang ke-228, yang berbunyi  Artinya Tatkala berkurang apa yang membuatmu senang, maka berkurang pula apa yang membuatmu bersedih Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018, p. 339. Hikmah di atas secara fundamental mengajarkan bahwa kebahagiaan sangatlah mudah untuk dicapai. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan dua kata yang saling kontradiksi. Namun menurut hikmah di atas, kedua kata tersebut mempunyai pengaruh dan bobot yang sama. Ketika kebahagiaan disimpan dalam bentuk sesuatu dan terlampau besar, maka potensi kesedihan pun akan semakin besar. Sebaliknya, jika kebahagiaan yang disimpan terhadap sesuatu itu sedikit, maka potensi kesedihan pun juga sedikit. Hubungan tersebut mempunyai sebab akibat yang setimpal, meskipun keduanya saling berlawanan Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Upaya mengurangi harta dan sebab yang lainnya, merupakan langkah dalam mengurangi kesedihan. Sikap seperti ini merupakan cerminan orang yang telah sempurna akalnya dan pandangannya. Orang seperti ini tidak hanya mengambil maslahat berupa kebahagiaan dari sesuatu yang keberadaannya hanya sementara, sehingga terhindarnya dari kerusakan akibat kesedihan adalah kebahagiaan. Seperti perkataan orang yang bijak bahwa “menghindari kerusakan lebih utama daripada mencari kemaslahatan,” termasuk mengurangi kesenangan demi berkurangnya kesedihan. Oleh karena itu, Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberikan jalan agar manusia senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Sikap merasa tidak cukup atas segala kebutuhan hidup, akan membuat manusia sibuk dan lalai terhadap kewajibannya, sehingga Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 191 tindakan seperti itu akan menjadikannya berlebihan thugyan terutama dalam masalah harta benda. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi “sesuatu yang sedikit dan cukup lebih baik dan utama daripada sesuatu yang banyak tetapi melalaikan” HR. Abu Ya’la dan adh-Dhiya. Di dalam hikmah sebelumnya, Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari berkata  Artinya Di antara bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan Allah kepadamu ialah memberi kecukupan terhadap segala kebutuhan dan menghindarkan dari sesuatu yang menyebabkan kecelakaan atasmu Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018, p. 338. Mengetahui kesempurnaan nikmat yang telah diberikan-Nya, akan mendorong manusia untuk selalu merasa cukup atas apa yang telah diberikan-Nya. Dengan kata lain, manusia akan selalu bahagia atas nikmat dan kecukupan yang diperolehnya. Keyakinan terhadap karunia yang telah Allah tentukan dan pasti diberikan, akan menjadikan manusia sibuk dengan perintah Allah dari pada mengurus apa yang sudah dijamin-Nya. Dengan demikian, Allah akan mengangkat derajatnya, mencukupkan segala kebutuhannya, dan menyempurnakan cahaya ilahi-Nya makrifat Ibnu Atha’illah al-Sakandari, 2013. Dengan bermakrifat kepada Allah SWT, manusia akan sampai pada derajat kebahagiaan yang hakiki. 3. Korelasi Kebahagiaan dengan Akhlak Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah, akhlak bisa mengantarkan manusia menjangkau dirinya sendiri, karenanya manusia harus menyadari bahwa ia mempunyai tujuan hidup. Akhlak yang dimaksud tidak hanya terbatas pada aspek lahiriyah yang sifatnya horizontal, akan tetapi juga menyangkut akhlak bathiniyyah yang bersifat vertikal. Akhlak merupakan sifat terdidik yang dimiliki oleh manusia serta mampu mengantarkannya menjadi manusia yang paripurna. Selain itu, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pendidikan akhlak yang mulia akan mengantarkan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat Alimudin & Darifah, 2018. Manusia merupakan makhluk yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Manusia dibekali akal sebagai sarana untuk mengetahui dan hati sebagai tempat berkumpulnya emosi dan perasaan. Faktor inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk ciptaan yang lainnya. Manusia akan mencapai derajat kemanusiannya ketika kedua potensi ini telah teraktualisasikan, dengan demikian manusia akan merasakan kebahagiaan. Akal dan hati seyogianya harus bersinergi dalam menghasilkan moral atau etika. Moral atau etika seperti inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan. Demikianlah korelasi antara Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 192 moral dengan kebahagiaan yang dikonsepsikan oleh Aristoteles Hasib, 2019. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hati mempunyai perilaku yang beragam. Sebagian perilaku disebut dengan budi pekerti buruk akhlaq as-su’, dan sebagian lagi disebut dengan budi pekerti baik akhlaq al-hasanah. Budi pekerti yang baik mengantarkan manusia mencapai derajat kebahagiaan yang hakiki. Sedangkan, budi pekerti yang buruk menyebabkan manusia mengalami kehancuran dan penderitaan Abu Hamid al-Ghazali, 2020. Perbedaan antara orang yang bahagia dengan orang yang menderita dijelaskan dalam salah satu firman-Nya yang berbunyi Artinya Tidaklah sama antara penghuni neraka dengan penghuni surga, penghuni-penghuni surgalah yang memperoleh kemenangan” QS. Al-Hasyr 20. Berdasarkan ayat di atas, Syeikh Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat jauh antara orang yang memperoleh kebahagiaan dengan orang yang memperoleh penderitaan. Orang bahagia dalam pandangan Syeikh Ibnu Atha’illah adalah orang yang hatinya bersinar. Pengejawantahan hati yang selalu bersinar akan tampak ketika manusia melihat suatu kemaksiatan. Ia akan menolak, mengingkari, serta berusaha untuk mengajak pada kebaikan dan memohonkan ampunan. Sebaliknya, sikap orang yang menderita senantiasa menyudutkan dan mencela para pelaku maksiat. Dalam hatinya telah tertanam rasa benci, sehingga membuatnya melakukan hal yang tidak terpuji, seperti mencela, memfitnah bahkan melaknatnya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2003. Selain itu, Syeikh Ibnu Atha’illah juga menjelaskan bahwa orang bahagia senantiasa menjaga kesucian diri, tidak mendzalimi orang lain, serta menjaga rahasia, aib, dan memelihara harga diri orang lain. Dengan demikian orang tersebut akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Orang yang mampu menahan diri untuk tidak mendzalimi orang lain dari pagi hingga menjelang petang, menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari adalah orang yang mendapatkan kebahagiaan. Jika mampu menahan kedzaliman terhadap diri sendiri dan terhadap perintah-perintah Allah, maka orang tersebut telah mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Puncak dari kesempurnaan kebahagiaan itu ditandai dengan berjumpa dengan Allah dalam keadaan iman. Orang yang mendzalimi Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 193 orang lain sama halnya dengan membuat kesedihan untuk akhirat Ibnu Athaillah as-Sakandari, 2003. 4. Urgensi Konsep Kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah di Era Modern Tolak ukur kebahagiaan di era modern seperti sekarang ini, bisa dilihat dari seberapa banyak penguasaan terhadap materi. Hal ini bisa dilihat dari gaya hidup yang cenderung hedonis dan materialistik Maryam Ismail, 2019. Tujuan utama pola hidup yang seperti ini tiada lain adalah untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan semata. Pada umumnya, kebahagiaan dilihat dari seberapa kaya, sukses, dan bisa menikmati berbagai kesenangan. Tidak heran, banyak manusia yang terpesona untuk memiliki salah satu bahkan ketiganya sekaligus. Harta kekayaan dan kesenangan berpotensi menurunkan kebahagiaan serta menjadi sumber penderitaan dan kejenuhan Jalaluddin Rakhmat, 2009. Kehidupan manusia modern yang menyuguhkan kehidupan materi dan individualistik, tidak memberikan rasa nyaman dan bahagia. Sebaliknya, angka kriminalitas yang semakin tinggi sebagai cerminan dari krisis moral yang terjadi Dewi, 2017. Melihat realita seperti di atas, konsep kebahagiaan yang disuguhkan oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari begitu penting untuk diterapkan saat ini. Orientasi kebahagiaan yang diletakkan dalam bentuk kesenangan seperti uang, jabatan, serta kebutuhan ekonomi yang tercukupi, pada kenyataannya belum mampu memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Salah satu contoh seperti yang terjadi di negara-negara Barat, kebahagiaan semakin menurun seiring dengan pertumbuhan perekonomian yang semakin cepat Jalaluddin Rakhmat, 2009. Pergeseran paradigma mengenai kebahagiaan, lagi-lagi tidak terlepas dari asumsi yang mengatakan bahwa uang dan pendapatan merupakan sumber kebahagiaan. Tidak heran, hal ini masih menjadi perdebatan di semua kalangan, termasuk ekonom dan psikolog. Hal menarik dari perdebatan ini ialah timbulnya sebuah istilah yang dinamakan dengan “paradoks Easterlin” atau konsep titik jenuh yang digagas oleh Easterlin 1974. Pada awalnya, pendapatan seseorang berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, dengan logika semakin besar pendapatan semakin terpenuhinya segala kebutuhan. Akan tetapi, pada akhirnya relasi tersebut akan sampai pada sebuah titik yang dinamakan dengan titik jenuh. Lonjakan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika, Eropa, Jepang, selama beberapa tahun terakhir tidak diiringi dengan peningkatan kebahagiaan masyarakat di negara tersebut Muskinul Fuad, 2018. Di era modern, kesuksesan yang tidak sejalan dengan kebahagiaan tidak lagi menjadi sebuah pengecualian anomali, akan tetapi sudah menjadi sesuatu yang normal dan sering terjadi. Hilangnya energi Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 194 kehidupan serta timbulnya rasa sedih di tengah kehidupan yang tampak bahagia, sering disebut dengan istilah dysthymia Jalaluddin Rakhmat, 2009. Gejala lain yang mencerminkan kehidupan di era modern ialah gangguan kecemasan, para psikolog menyebutnya dengan istilah anxiety disorder. Fenomena seperti ini, menurut Bastaman merupakan representasi dari kehidupan manusia di zaman modern, sehingga abad ini disebut dengan abad kecemasan the age of anxiety. Akibatnya, terjadilah krisis multi dimensi yang meliputi perekonomian, politik, sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat dunia. Tidak heran banyak manusia yang mengalami penderitaan, karena kegagalannya dalam menggapai kehidupan dan kebahagiaan Muskinul Fuad, 2018. Melihat realita seperti ini, Syeikh Ibnu Atha’illah melalui konsep kebahagiaannya yang sederhana, mengajarkan kepada kita supaya tidak menaruh kebahagiaan pada sesuatu yang sifatnya sementara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebahagiaan bukanlah kesenangan dan kenikmatan semata, tidak sedikit orang yang dipenuhi dengan berbagai kenikmatan tetapi dia tidak merasakan kebahagiaan. Dengan mengenal sifat dunia dan karakteristiknya, seyogianya manusia tidak terlalu berambisi dalam segala hal. Esensi kebahagiaan itu sendiri terletak dalam hati manusia, karena itu Syeikh Ibnu Atha’illah mengajarkan kepada kita supaya menjaga hati agar tidak terlena terhadap sesuatu yang memikat tetapi pada akhirnya menjemukan Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Memperbaiki akhlak begitu penting untuk dilakukan, sebagai upaya timbulnya rasa nyaman, dengan demikian kebahagiaan akan mudah didapatkan Putri, 2018. Kesimpulan Syeikh Ibnu Atha’illah merupakan seorang sufi yang sangat faqih. Beliau mampu memadukan ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu hakikat. Kata Syeikh disematkan pada nama Ibnu Atha’illah as-Sakandari sebagai penghormatan akan kebesaran nama beliau. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari melalui hikmah-hikmah yang terkandung di dalam kitab al-Hikam, dan kitab-kitab yang lainnya, menginformasikan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia perlu mengolah hati dan memperbaiki akhlak, baik akhlak terhadap sesama manusia maupun akhlak terhadap Allah SWT. Selain itu, Syeikh Ibnu Atha’illah mengharuskan manusia agar mengetahui kesempurnaan nikmat yang telah diberikan Allah SWT, sebagai upaya agar manusia tetap bersyukur dan bersabar atas apa yang dimilikinya. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah sangat relevan dengan kehidupan manusia di era modern ini, konsep yang sederhana namun mampu memberikan rasa nyaman, tenteram, dan mengantarkan kepada kebahagiaan yang sejati. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, terkhusus bagi penulis umumnya bagi khalayak Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 195 umum yang masih bingung dan terus mencari makna kebahagiaan. Juga diharapkan menjadi referensi dan pembanding dalam menjalani kehidupan dan tercapainya tujuan hidup yang bermakna. Dalam menjalani rangkaian penelitian, peneliti dihadapkan dengan beberapa keterbatasan, antara lain kajian ini hanya menggunakan kitab Syarh al-Hikam sebagai rujukan utama dikarenakan peneliti tidak memperoleh kitab asli yaitu Matan al-Hikam, serta keterbatasan referensi dari kitab-kitab karangan Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang sudah jarang beredar sehingga peneliti kesulitan untuk menghimpun karya-karya beliau. Keterbatasan ini peneliti paparkan sebagai ruang penyempurnaan bagi peneliti selanjutnya agar studi yang dilakukan bisa lebih baik. Semoga penulis dan pembaca mendapat rida dan keberkahan dari Allah SWT. Daftar Pustaka Abu Hamid al-Ghazali. 2020. Kimiya al-Sa’adah Mustofa Bisri ed.; Cetakan 1. Jakarta PT Qaf Media Kreativa. Afifudin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi Anggito, J. S. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif E. D. Lestari ed.; Cetakan 1. Sukabumi CV Jejak. Arrasyid, A. 2020. Konsep Kebahagiaan dalam Tasawuf Modern Hamka. Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, 192, 205–220. Ashim Ibrahim al-Kayyali. 2018. Al-Lathaif al-Ilahiyyah fi Syarh Mukhtarat min al-Hikam al-Atha’iyyah M. Tatam Wijaya ed.; Cetakan 1. Jakarta PT Qaf Media Kreativa. Bagir, H. 2015. Risalah Cinta dan Kebahagiaan II. Bandung Mizan. Bertens, K. 2015. Etika Cetakan 3. Bandung Kanisius. Danner, V. 1999. Mistisisme Ibnu Atha’illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1. Risalah Gusti. Darmalaksana, W. 2020. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 1–6. Dendi Sugono, D. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Dewi, E. 2017. Konstruksi Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan Spritual. Substantia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19, 133–148. Gusti Yasser Arafat. 2018. Membongkar Isi Pesan dan Media dengan Content Analysis. Jurnal Al-Hadharah, 1733, 32–48. Haidar Bagir. 2006. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung Mizan. Hamim, K. 2016. Kebahagiaan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Filsafat. Tasâmuh, 132, 127-150. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 196 Hasib, K. 2019. Manusia dan Kebahagiaan Pandangan Filsafat Yunani dan Respon Syed Muhammad Naquib al-Attas. TASHFIYAH Jurnal Pemikiran Islam, 351, 21–40. Ibnu Atha’illah al-Sakandari. 2013. Bahjat al-Nufus F. F. Bahreisy ed.; Cetakan 1. Jakarta Zaman. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2003. Bahjah Al-Nufus C. R. B. A. Cecep Alba ed.; Cetakan 1. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2013. At-Tanwir Fii Isqaati at-Tadbir Misbah El-Majid ed.; Cetakan 1. Surabaya Pustaka Hikmah Perdana. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2018. Syarh al-Hikam Ibnu ath-Thaillah as-Sakandari Imam Firdaus ed.; Cetakan 3. Bandung Wali Pustaka. Ibnu Athaillah as-Sakandari. 2003. Menjaga Kesucian Kalbu C. R. B. A. Cecep Alba ed.; Cetakan 1. Bandung Remaja Rosdakarya. Ibnu Athaillah as-Sakandari. 2013. At-Tanwir fi Isqaati at-Tadbir M. El-Majid ed.; Cetakan 1. Surabaya Pustaka Hikmah Perdana. Ida Rodiah. 2017. Konsep Kebahagiaan Menurut Hamka. UIN Sunan Gunung Djati. Iman Setiadi Arif. 2018. Psikologi Positif Pendekatan Saintifik Menuju Kebahagiaan Cetakan 2. Bandung PT Gramedia Pustaka Utama. Jalaluddin Rakhmat. 2009. Meraih Kebahagiaan. Simbiosa Rekatama Media. Jarman Arroisi. 2019. Bahagia dalam Perspektif Al-Ghazali. Jurnal Studi Agama-Agama Dan Pemikiran Islam, 1701. Lilik Ummi Kultsum. 2018. Cobaan Hidup dalam Al-Quran Studi Ayat-Ayat Fitnah dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik. Ilmu Ushuluddin, 52, 107–138. Ma’ruf, M. 2019. Konsep Mewujudkan Keseimbangan Hidup Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Al-Makrifat, 42. Maryam Ismail. 2019. Hedonisme dan Pola Hidup Islam. Jurnal Ilmiah Islamic Resources FAI-UMI Makassar, 162, 193–204. Mudin, M. I. 2016. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari. Kalimah Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam, 142, 156–172. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. 2020. Al-Hikam al-Athaiyyah Syarah al-Hikam Ibnu ath-Thaillah as-Sakandari A. U. Abdurrahman Jufri, Hadiri Abdurrazaq ed.; Cetakan 1. Tangerang Pustaka IIMaN. Muskinul Fuad. 2018. Psikologi Kebahagiaan dalam Al-Quran Cetakan 1. Yogyakarta Lontar Mediatama. Putri, E. W. 2018. Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif Al-Farabi. THAQAFIYYAT Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam, 191, 95-111. Rusfian Effendi. 2017. Filsafat Kebahagiaan Plato, Aristoteles, Al-Ghazali, Al-Farabi cetakan 1. Yogyakarta Deeppublish. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 197 Slamet, I. 2018. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam Kitabnya al-Hikam. Studi Pendidikan Islam, 181. Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods. Bandung CV Alfabeta. Tamami. 2011. Psikologi Tasawuf. Bandung Pustaka Setia. ... They will bear them sincerely and amicably. Individuals who understand the reality of life in this world will stay calm in the face of delights or hardships and sorrow Suhada et al., 2021. ...Maryam IsmailHedonisme merupakan sebuah pandangan hidup yang menyatakan kesenangan untuk menikmati segalanya adalah tujuan hidup manusia di dunia ini. Kondisi hedonisme banyak ditemukan bukan hanya pada pelajar, dan anak-anak muda atau mahasiswa, nampaknya sudah menyeluruh dalam berbagai kalangan masyarakat. Awalnya hanya kebanyakan dari orang-orang berduit yang selalu memperhatikan penampilan luar dan menikmati hidup ini dengan sepuasnya, bergaul, makan, jalan-jalan, bersenang-senang, berpoya-poya akhirnya sudah menular kepada yang lain meskipun dalam kondisi hidup kekurangan. Pandangan Hedonisme muncul sebagai jawaban dari pertanyaan Socrates tentang tujuan hidup adalah mencari kenikmatan dan kesenangan, tetapi bukan berarti rakus dan memiliki harta sebanyak-banyaknya. Paham ini perlu diwaspadai, karena bisa merusak gaya hidup seseorang dengan menghalalkan segala cara untuk kenikmatan dan kesenangan saja. Sementara kebahagiaan dalam ajaran Islam bukan hanya mengejar kebahagiaan dan kenikmatan lahir yang sesaat, tetapi kebahagiaan adalah keseimbangan lahir dan batin yang dapat dinikmati dunia dan akhirat setelah berhasil mendapatkan ridha Allah Swt. Di dunia yang lebih penting beramal saleh dengan jalan memperbaiki hubungan dengan Allah Swt dan kepada sesama manusia serta seluruh ArrasyidHappiness is an eternal concept that will always keep being up to date which means the concept of happiness will never be ended for discussion. Starting from ancient times, people today, and people in the future always want the same thing as happiness. The concept of happiness is not something new for both the world of Sufism and philosophy, therefore the concept of happiness experiences the dynamic development of the concept. Hamka is one of the scholars in Indonesia who discusses the concept of happiness, but Hamka has its own characteristics in explaining happiness. According to Hamka, happiness actually exists in every human being, happiness can be achieved from inside, not from outside, happiness that comes from outside of ourself is only as a complement to happiness inside, happiness can be achieved if humans always hone and develop tools which can be used to achieve happiness and these tools are religion, reason, and mind. These three things have a relationship with each other, if humans are able to develop these three things then humans can achieve happiness in their lives. In achieving happiness, these three things can be applied by using several methods namely zuhud, sincere, qana’ah and tawakal. The background of this research will explain the concept of happiness in the modern mysticism of Hamka. This research is a library research, and to make it more functional and useful, this paper will be equipped by a description method, interpretation and analysis of data in detail for each problem raised, therefore it can obtain a comprehensive Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi AnggitoAfifudinAfifudin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi Anggito, J. S. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif E. D. Lestari ed.;Risalah Cinta dan Kebahagiaan IIH BagirBagir, H. 2015. Risalah Cinta dan Kebahagiaan II. Bandung Mizan. Bertens, K. 2015. Etika Cetakan 3. Bandung Ibnu Atha'illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1V DannerDanner, V. 1999. Mistisisme Ibnu Atha'illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1. Risalah Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi LapanganW DarmalaksanaDarmalaksana, W. 2020. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan NasionalD Dendi SugonoDendi Sugono, D. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan SpritualE DewiDewi, E. 2017. Konstruksi Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan Spritual. Substantia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19, 133-148. Isi Pesan dan Media dengan Content AnalysisGusti Yasser Arafat. 2018. Membongkar Isi Pesan dan Media dengan Content Analysis. Jurnal Al-Hadharah, 1733, 32-48.
IbnuAthaillah membagi zikir ke dalam tiga jenis. Wednesday, 29 Rajab 1443 / 02 March 2022
Dalam kehidupan, tidak setiap harapan manusia dapat tercapai. Kadang berhasil, kadang gagal. Kadang sukses, kadang kurang beruntung. Umumnya orang akan kecewa bila harapan atau keinginannya tak tercapai. Tapi bagi seorang muslim, sebenarnya bagaimana sikap terbaik ketika harapannya tak tercapai? Kalam Hikmah Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiecenya, al-Hikam, menyatakan رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ Artinya, “Bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya; dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yang lain.” Menurut Imam Ibnu Athaillah, anugerah yang sebenarnya dan patut disyukuri adalah anugerah memeluk agama Islam sebagai nikmat yang sangat hakiki. Segala pemberian yang Allah berikan tidak ada yang dapat menandingi anugerah keislaman seseorang. Orang yang masih memeluk agama Islam berarti masih menikmati anugerah yang sangat besar dari Allah. Dengan kalam hikmah di atas, Imam Ibnu Athaillah seakan hendak menyampaikan, terkadang Allah memberikan sesuatu yang dianggap baik menurut pikiran manusia, namun tanpa disadari pemberian itu sebenarnya menghalangi dirinya dari taufiq dan hidayah untuk semakin dekat kepada-Nya. Apalah artinya terpenuhi semua harapan, sementara cahaya Islam dan iman di hati justru padam? Namun, yang sering terjadi adalah manusia sulit memahami hakikat anugerah yang diberikan Allah. Ketika harapannya tidak sesuai kenyataan, betapa banyak manusia yang sering menyalahkan takdir, seolah Allah tidak adil kepadanya. Padahal, jika mau memahami, semestinya ia akan sadar bahwa semua anugerah yang telah Allah berikan maupun yang Allah halangi darinya merupakan kebaikan yang hakiki baginya. Imam Ibnu Athaillah melanjutkan kalam hikmahnya مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ Artinya, “Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang pecegahan-Nya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah menjadi anugerah yang sebenarnya.” Penjelasan Ibnu Ajibah Syekh Ibnu Ajibah dalam kitabnya Îqâdhul Himam mengibaratkan pemberian Allah kepada manusia dengan orang yang diundang ke suatu jamuan makanan di tempat gelap tanpa lampu. Makanan yang tersedia sangat banyak, namun bisakah saat itu ia mengetahui makanan mana yang akan diambil dan yang akan dimakan? Begitulah pemberian Allah kepada manusia, ketika diberi kecukupan di satu sisi, ia akan selalu merasa kekurangan di sisi lainnya. Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam Syarhu Matnil Hikam, [Bairut, Darul Ma’rifah 2000], halaman 97. Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas terkonfirmasi oleh ayat Al-Qur’an وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Artinya, “Boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian; dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” QS al-Baqarah216 Karenanya, orang-orang pilihan yang telah mencapai derajat ma’rifat billâh, sering merasa takut ketika ia menerima anugerah Allah. Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا Artinya, “Orang-orang ârifbillâh lebih takut ketika diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Terpenuhinya semua harapan merupakan kebahagiaan dan seakan menjadi nikmat yang sangat besar. Namun, semua itu justru menakutkan bagi orang-orang ârifbillâh. Kenapa demikian? Sebab, bagi mereka dalam keadaan sempit orang yang dekat kepada Allah akan lebih tenang dan lebih tentram menjalankan semua perintah-Nya. Sedangkan dalam keadaan semua keinginan terpenuhi, orang akan berpotensi sombong dan tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Dalam menyikapi kelapangan dan kesempitan hidup, Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْبَسْطُ تَأْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهَا بِوُجُوْدِ الْفَرْحِ، وَالْقَبْضُ لَاحَظَّ لِلنَّفْسِ فِيْهِ Artinya, “Dalam kelapangan hidup, nafsu manusia ikut ambil bagian menikmatinya, sebab adanya rasa gembira; sedangkan dalam kondisi sempit, nafsu manusia tidak ikut ambil bagian merasakannya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Begitulah kelapangan, ia bisa menjadi faktor yang menumbuhkan kecenderungan nafsu untuk melupakan Allah yang memberikan anugerah. Orang yang lapang cenderung memanjakan dirinya dengan segala sesuatu yang diinginkan. Sikap memanjakan diri inilah yang terkadang menjadi penyebab orang lalai. Seolah, saat demikian kewajiban agama menjadi beban dan ibadah pun dilakukan dengan hati gundah tidak ikhlas. Berbeda ketika dalam kondisi sempit atau kesusahan. Banyak hal yang tertahan dan tidak bisa didapatkan. Kondisi penuh keterbatasan menjadikan manusia tidak dapat memanjakan dirinya. Karenanya, tidak ada godaan untuk lalai memanjakan diri dan kewajiban agama pun dapat ditunaikan tanpa beban. Bagaimana mungkin bisa memanjakan diri, sedangkan ia dalam keadaan yang kurang? Dalam kesempatan lain Syekh Ibnu Ajibah mengibaratkan manusia seperti anak kecil yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa, yang menginginkan manisan atau permen beracun. Ia berkata فَكُلَّمَا بَطَشَ الصَّبِيُّ لِذَلِكَ الطَّعَامِ رَدَّهُ أَبُوْهُ، فَالصَّبِي يَبْكِي عَلَيْهِ لِعَدَمِ عِلْمِهِ، وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ Artinya, “Ketika Si Anak mengambil makanan beracun, Sang Ayah menolaknya; maka Si Anak menangisinya karena ketidaktahuannya, sedangkan Sang Ayah menolaknya secara paksa karena tahu ada racunnya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 100. Begitulah gambaran hubungan manusia dengan Allah swt berkaitan dengan anugerah dan harapan. Manusia tak ubahnya seperti anak kecil yang masih lugu dan sangat polos, sementara Allah menghalangi berbagai harapan dan keinginannya karena bahaya yang tidak diketahuinya. Penilaian akhir yang paling baik dalam hidup adalah ketika sesuai dengan kehendak-Nya. Sangat mungkin, segala anggapan baik yang manusia wacanakan, justru merupakan keburukan yang tidak Allah inginkan. Tidak ada hal yang lebih baik atas semua kejadian yang menimpa manusia melainkan dengan mempelajari dan menggali hikmah demi meraih keridhaan-Nya. Sebab setiap ketentuan Allah selalu beriringan dengan kebijaksanaan-Nya. Syair Imam al-Bushiri Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah yang kemudian dijelaskan secara panjang lebar oleh Syekh Ibnu Ajibah di atas selaras dengan syair Imam al-Bushiri dalam al-Burdah كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً *** مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنَّ السَّمَّ فِى الدَّسَمِ Artinya, “Betapa banyak kenikmatan justru berujung pada kematian, karena orang tidak menyadari bahaya racun yang terkandung di dalamnya.” Wallâhu a’lam. Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan.
MenurutAbu Nu'aim r.a., mukjizat bulan terbelah itu adalah pembuktian tentang kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. yang berulang-ulang dituntut oleh gerombolan Abu Jahl. Yasin dapat dibaca saat kita mengharap rezeki Tuhan, meminta sembuh dari penyakit, menghadap ujian, mencari jodoh, dan lain-lain. ---Ibnu Athaillah---Diposting
loading...Ikhlas adalah berlepas dari ikatan dan kebergantungan dengan apa pun sehingga yang dituju hanya ridho Allah semata. Foto/dok Dalam Kitab Al-Hikam karya Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari wafat 1309 menjelaskan hakikat Ikhlas yang jarang diketahui orang. Ulama besar sufi kelahiran Alexandria Mesir ini mengatakan bahwa ruhnya amal adalah صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَاArtinya "Amal-amal itu adalah bentuk-bentuk yang tampil secara lahiriyah, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya adalah hadirnya keikhlasan cahaya ikhlas pada amal tersebut." Syaikh Ibnu Athaillah menyebutkan dua kata yaitu amal dan ikhlas. Amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan ibarat ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Beliau mengatakan dalam hikmahnya bahwa kita harus ikhlas dalam beramal. Ikhlas artinya berlepas dari ikatan dan kebergantungan dengan apa pun, sehingga kita dapat menghilangkan sifat riya dan ujub. Para ulama berkata "Luruskan amalmu dengan ikhlas dan luruskan ikhlasmu dengan berlepas dari segala daya dan kekuatan."Dikisahkan, suatu hari Rasulullah SAW berkumpul dengan beberapa sahabatnya, datanglah seorang wanita kafir membawa beberapa buah jeruk sebagai hadiah. Rasulullah SAW menerimanya dengan senyuman gembira. Lalu mulailah jeruk itu dimakan oleh Rasulullah SAW dengan tersenyum, sebiji demi sebiji hingga habislah semua jeruk tersebut. Ketika wanita itu meminta izin untuk pulang, maka salah seorang sahabat segera bertanya mengapa tidak sedikit pun Rasulullah menyisakan jeruk tadi untuk sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun menjawab "Tahukah kamu, sebenarnya buah jeruk itu terlalu asam sewaktu saya merasakannya pertama kali. Kalau kalian turut makan, saya takut ada di antara kalian yang akan mengernyitkan dahi atau memarahi wanita tersebut. Saya takut hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya."Inilah satau contoh akhlak yang agung. Ia tidak dapat dipoles di permukaan, tetapi semata-mata karena cahaya ikhlas yang sudah tertanam di dalam hati. Sikap dan perilaku adalah cerminan hati. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah SAW bersabda"Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, 'Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah', lalu Allah berfirman "Ikhlas adalah salah satu dari rahasia-Ku, yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang Aku cintai dari kalangan hamba-hamba-Ku." Imam Hasan Al-Bashari barkata, "Aku pernah bertanya kepada sahabat Hudzaifah tentang ikhlas. Beliau menjawab Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW ikhlas itu apa, beliau menjawab "Aku pernah menanyakan tentang ikhlas itu kepada Malaikat Jibril dan beliau menjawab "Aku pernah bertanya tentang hal itu kepada Allah Rabbul 'Izzaah, dan Dia menjawab "Ikhlas ialah rahasia di antara rahasia-rahasia-Ku yang Kutitipkan di hati hamba-Ku yang Aku cintai." Ikhlas itu berbeda bertingkat sesuai dengan tingkatan orang yang beramal. Keikhlasan orang-orang yang sudah Ma'rifat kepada Allah, mereka akan selalu melihat kepada gerak dan diamnya badan dan hatinya itu semua atas kehendak Allah. Mereka tidak merasa kalau bisa beramal kecuali karena pertolongan Allah, bukan karena kekuatan dirinya A'lam Baca Juga rhs
Sementaradalam menaggapi kelima poin jenis tafakur tersebut, Syekh Nawawi menyodorkan sebuah kutipan dari Syekh Ibnu Athaillah dalam karya agungnya, Amalan Mujarab Cepat Dapat Jodoh, Insya Allah Mustajab . 19/07/2022 05:00 WIB 15 Kata-kata Bijak Gus Dur yang Bikin Adem . 19/07/2022 15:02 WIB
Home Tausyiah Jum'at, 04 Desember 2020 - 1738 WIBloading... Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari 1250-1309 M, seorang ulama sufi terkemuka kelahiran Mesir. Foto ilustrasi/Ist A A A Guru adalah orang yang mengajar, mendidik, membimbing, melatih, menasihati. Ia menjadi contoh dan teladan yang wajib dipanuti seorang murid. Perannya sangat mulia hingga Allah menempatkan mereka di tempat terpuji. Baca Juga Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya hakikat guru dan perannya? Dalam perspektif Islam , guru sejati adalah mereka yang mengajarkan dan membimbing kita untuk dekat kepada Allah. Para ulama merupakan sosok guru yang dapat dipanuti. Sebab, ulama adalah orang yang mengetahui ilmu keislaman dan hanya takut kepada Allah. Menghormati ulama adalah kewajiban setiap muslim karena mereka adalah pewaris para Nabi . Baca Juga Ulama Adalah Guru yang Mempersatukan UmatImam Ibnu Atha'illah As-Sakandari 1250-1309 M, seorang ulama sufi terkemuka kelahiran Mesir menyampaikan 10 hakikat guru yang sebenarnya. Berikut kalamnyaليس شيخك من سمعت منهوإنما شيخك من أخذت عنهو ليس شيخك من واجهتك عبارته وإنما شيخك الذى سرت فيك إشارتهوليس شيخك من دعاك الى البابوإنما شيخك الذى رفع بينك وبينه الحجابوليس شيخك من واجهك مقالهوإنما شيخك الذى نهض بك حالهشيخك هو الذى أخرجك من سجن الهوى و دخل بك على المولىشيخك هو الذى مازال يجلو مرآة قلبك حتى تجلت فيها انوار ربكArtinya1. Guru sejati bukanlah orang yang engkau dengar ceramah-ceramah sebatas dari lisannya Tapi dia adalah seorang yang menjadi tempatmu di dalam mengambil hikmah dan Bukanlah guru sejati, seseorang yang hanya membimbingmu sekedar makna dari Tapi orang yang disebut guru sejati bagimu adalah orang yang isyarat-isyaratnya mampu menyusup dalam Dia bukan hanya seorang yang mengajakmu sampai ke Tapi yang disebut guru bagimu itu adalah orang yang bisa menyingkap hijab penutup antara dirimu dan Bukanlah gurumu, orang yang ucapan-ucapannya Tapi yang disebut guru bagimu adalah orang yang aura kearifannya dapat membuat jiwamu bangkit dan Gurumu yang sejati adalah yang membebaskan mu dari penjara hawa nafsu, lalu memasukanmu ke ruangan Tuhan-mu10. Guru sejati bagimu adalah orang yang senantiasa menjernihkan cermin hatimu, sehingga cahaya Tuhanmu dapat bersinar terang di dalam hatimu. Baca Juga Wallahu A'lamrhs imam ibnu athoillah ulama nasihat ulama guru kalam Artikel Terkini More 2 jam yang lalu 3 jam yang lalu 3 jam yang lalu 4 jam yang lalu 4 jam yang lalu 5 jam yang lalu
Dalamajaran teologis, jodoh adalah wilayah kewenangan Tuhan. Namun, pada prinsip humanitas, kewenangan Tuhan . Zaitur Rahem Volume 5, Nomor 1, Mei 2017 2 tidak seharusnya ditafsir secara ekslusif. Tuhan memang pemegang mutlak kewenangan. 2 Ibnu ‘Athaillah, Al-Hikam, (Jakarta: Zaman, 2015), 50. Zaitur Rahem
Jodoh merupakan istilah yang dimengerti oleh hampir semua orang. Ada berbagai sebutan untuk jodoh, diantaranya adalah pasangan hidup, teman hidup, tambatan hati, bahkan ada pula yang menyebut dengan ungkapan separuh jiwa yang berarti jika kehilangan atau terpisah akan terasa seperti kehilangan segalanya atau kehilangan sesuatu separuh dari hidupnya. Jodoh menurut islam adalah salah satu misteri yang senantiasa dipertanyakan oleh umat mukmin baik laki laki ataupun perempuan, sebab hanya Allah yang mengetahui dan menentukan jodoh untuk hamba dalam islam adalah sebuah cerminan diri, jika seseorang itu baik, InsyaAllah akan mendapatkan jodoh yang baik pula, dan sebaliknya. Jika seseorang itu baik tetapi mendapatkan jodoh yang belum sebaik dirinya, hal itu merupakan ujian dari Allah agar menuntunnya ke jalan kebaikan. Hanya Allah yang mengetahui. Wallahualam. Bagaimana jodoh tercipta dan seperti apa Allah memberikan yang terbaik untuk hamba Nya telah Allah jelaskan dalam berbagai firman Nya, berikut 15 ayat Al Qur’an tentang jodoh 1. QS An Nur Ayat 26“Wanita wanita yang keji adalah untuk laki laki yang keji, dan laki laki yang keji adalah untuk wanita wanita yang keji pula. Dan wanita wanita yang baik adalah untuk laki laki yang baik dan laki laki yang baik adalah untuk wanita wanita yang baik pula”. QS An Nur 26. Jelas dalam firman tersebut bahwa Allah memberikan jodoh berdasarkan akhlak dari hamba Nya tersebut, sebab itulah senantiasa ada nasehat bahwa setiap orang hendaknya memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Nya agar kelak mendapat jodoh yang baik QS An Nur Ayat 3“Laki laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki laki yang berzina atau laki laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang orang yang mukmin”. QS An Nur 3. Firman ini juga merupakan cermin dari jodoh yang Allah ciptakan untuk hamba Nya, wanita atau lelaki yang berzina nantinya akan mendapatkan jodoh yang seperti dirinya, setiap dari kita wajib menjaga diri dari segala perbuatan maksiat agar kelak mendapatkan jodoh yang mengajak kepada kebaikan QS Al Maidah Ayat 5Allah menghalalkan seorang laki laki dan wanita yang sholeh yaitu yang masing masing menjaga kehormatan dirinya untuk menyatukan hubungan mereka dalam ikatan yang halal. Merupakan sebuah nikmat terindah dari Allah jika dua orang yang saling mencintai bersatu dalam ikatan yang halal dengan niat beribadah kepada Nya. “Dan dihalalkan mengawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita wanita yang beriman dan wanita wanita yang menjaga kehormatan diantara orang orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina”. QS Al Maidah 5.4. QS Al Baqarah Ayat 221Jodoh berarti sesuatu yang di rihoi Allah, jika mencintai lawan jenis yang musyrik tandanya bukan mencintai karena Allah sebab mengharap jodoh karena Allah senantiasa mementingkan agamanya terlebih dahulu. “Dan janganlah kamu menikahi wanita wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita mmusyrik walaupun dia lebih menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan ijin Nya”. QS Al Baqarah 2215. QS An Nur Ayat 32“Dan nikahilah orang yang masih membujang diantara kamu dan juga orang orang yang layak menikah dari hamba hamba sahaya mu yang laki laki dan perempuan. Allah akan memberikan kemampuan pada mereka denga karunia Nya dan Allah maha luas pemberian Nya”. QS An Nur 32. Tak perlu khawatir jika anda mendapat jodoh yang mungkin masih berjuang untuk mapan, sebab Allah memberikan jodoh disertai dengan jalan mendapat rejeki yang QS Ar Rum Ayat 21Jodoh akan menjadikan dua orang menjadi tentram hatinya dan memiliki kasih sayang satu sama lain. “Dan diantara tanda tanda kekuasan Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepasanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”. QS Ar Rum 217. QS Al Furqan Ayat 74Allah menyukai hamba Nya yang berdoa dan berikhtiar, tak ada salahnya menyelipkan doa disertai senantiasa memperbaiki diri agar mendapat jodoh yang terbaik dari Nya. doa mendapatkan jodoh dan rezeki menurut al quran merupakan salah satu terbaik yang bisa dilakukan hamba-Nya untuk mendapatkan keberkahan. “Dan orang orang yang berkata Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang orang yang bertaqwa”. QS Al Furqan 74. 8. QS Ar Rad Ayat 38Allah telah menciptakan jodoh sejak jaman terdahulu, sejak Nabi Adam AS diciptakan telah Allah ciptakan Hawa sebagai jodohnya. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri istri dan keturunan”. QS Ar Rad 38.9. QS Az Dzariyat Ayat 49Allah menciptakan jodoh agar manusia senantiasa bersyukur dan mengingat kebesaran Allah, sebab jodoh merupakan sebuah anugrah, darinya akan didapatkan teman hidup sebagai pasangan dan penenang hati di dunia hingga di akherat nanti. takdir jodoh menurut islam sudah ditentukan oleh Allah dengan orang yang tepat dan terbaik bagi setiap hamba-Nya. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. QS Az Dzariyat 49. 10. QS An Nisa Ayat 1“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah mencitpakan istri nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama Nya kamu saling mencinta satu sama lain”. QS An Nisa 1. Allah memerintahkan hamba Nya untuk bertaqwa agar mendapat jodoh yang bertaqwa pula, dengan jodoh Allah akan menciptakan keturunan dan perasaan saling mencinta satu sama QS Thaaha 39Jodoh tidak hadir begitu saja, ada yang mendapatkan jodoh di usia muda, ada pula yang sebaliknya, Allah mengatur yang demikian karena kuasa Nya, dari kasih sayang yang diturunkan oleh Allah, itulah sebabnya setiap manusia harus berikhtiar dan berharap hanya kepada Allah. “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan Ku”. QS At Thaahaa 3912. QS Ali Imran Ayat 14Setiap lelaki sejatinya memiliki rasa tertarik atau minat terhadap wanita, hal itu merupakan kodrat dari Allah sebagai salah satu alasan diciptakannya jodoh. “Dijadikan indah bagi manusia kesukaan kepada benda benda yang diingini, yaitu perempuan perempuan”. Ali Imron 1413. QS Al Anbiya Ayat 89Doa ini adalah salah satu doa dalam ayat Al Qur’an yang diungkapkan oleh Nabi Allah sebagai wujud berharap mendapatkan jodoh yang terbaik, jodoh akan melenyapkan seseorang dari rasa kesendirian dan kesepian, juga kelak memberikan keturunan sebagai pelengkap dan amanah dari Allah. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku seorang diri, Engkaulah ahli waris yang paling baik”. Al Anbiya 8914. QS Yassin Ayat 36“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan makhluk makhluk semuanya berpasangan baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi, atau dari diri mereka, ataupun dari apa yang mereka mengetahuinya”. QS Yassin 36. Dari firman tersebut Allah menjamin kepada hamba Nya bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu berpasang pasangan, Allah memberikan pasangan tersebut sebagai jodoh untuk jalan beribadah kepada yang belum dipertemukan oleh Allah dengan jodohnya hendaknya senantiasa memperbaiki diri dan berikhtiar agar mendapat jodoh di waktu terbaik yang diatur oleh Allah. Bagi yang telah dipertemukan dan telah memiliki hubungan yang halal juga wajib bersyukur, memperbaiki diri, dan saling mengajak dalam kebaikan agar kelak menjadi jodoh hingga di akherat pula. Kemudian untuk tanda tanda jodoh dari allah sendiri memang terkadang tidak diduga – QS An Najm Ayat 45“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang pasangan pria dan wanita”. QS An Najm 45.Dari firman firman Allah yang telah disebutkan di atas jelas bahwa jodoh telah diciptakan dan dijamin keberadaannya oleh Allah, tentunya Allah menciptakan jodoh karena rasa kasih sayang Allah untuk hamba Nya, sebagai umat mukmin tak perlu khawatir tentang jodoh selama menjadi hamba Nya yang bertaqwa dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya, sebab Allah telah menjamin memberikan jodoh yang terbaik sesuai cermin dari dirinya jaga diri, berikhtiar, dan mengharap serta menerima jodoh kita semata karena beribadah kepada Allah. Semoga bermanfaat ya sobat pembahasan kali ini mengenai ayat tentang jodoh dalam islam. Sampai disini dulu dan sampai jumpa di lain kesempatan. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mampir dan juga membaca. Salam hangat dari penulis. . 354 202 46 39 367 301 497 123

jodoh menurut ibnu athaillah