Tanahsawah terluas di Pulau Jawa berada di Jawa Timur mencapai 1.084.278 hektar, diikuti Jawa Tengah seluas 1.064.776 hektar, kemudian Jawa Barat Sistem tenurial dan pemilikan tanah; (iv) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di dalamnya intervensi negara terhadap
ArticlePDF Available AbstractAbstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesarbesarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor âdarahâ geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kolonial. Abstract In 19th century, Priangan â and Java in general â faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash crops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their society. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 386Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSTRUKTUR SOSIAL, POLITIK, DAN PEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19Oleh Mumuh Muhsin Sejarah Fakultas Sastra Universitas PadjadjaranJl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangoremail mumuhmz diterima 15 Juni 2011 Naskah disetujui 4 Juli 2011AbstrakAbad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor âdarahâ geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kunci Priangan, sosial, politik, 19th century, Priangan â and Java in general â faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3872011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungcrops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their Priangan, social, political, landPENDAHULUANA. Pada abad ke-19 hubungan antara kekuasaan tradisional pribumi dan kekuasaan Kolonial Belanda menunjukkan dua gejala yang bertolak belakang. Di satu pihak kekuasaan kolonial makin meluas, di lain pihak kekuasaan pribumi makin melemah. Hubungan dengan kekuasaan kolonial ini berpengaruh terhadap berbagai segi kehidupan. Dalam bidang politik, pengaruh Belanda makin kuat karena intervensi yang intensif dalam persoalan-persoalan intern kekuasaan pribumi seperti dalam masalah suksesi, promosi, mutasi, dan rotasi pejabat. Dalam bidang ini, penguasa-penguasa tradisional makin bergantung pada kekuasaan asing sehingga kebebasan dalam menentukan soal-soal pemerintahan makin melemah. Dalam bidang sosial-ekonomi kontak dengan Barat berakibat melemahnya kedudukan kepala-kepala daerah dan pemimpin-pemimpin tradisional. Kekuasaan mereka berangsur berkurang dan ditempatkan di bawah pengawasan pejabat-pejabat asing sedangkan tenaga mereka dilibatkan dalam sistem eksploitasi ekonomi kolonial. Di Priangan faktor-faktor produksi pertanian, baik menyangkut tanah maupun tenaga kerja, diatur sedemikian rupa untuk kepentingan kolonial. Para petani dibebani tugas mengolah sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman ekspor dan diharuskan menyumbangkan tenaganya secara paksa pada penguasa kolonial. Dalam bidang budaya, abad ke-19 merupakan momentum makin meluasnya pengaruh kehidupan Barat dalam lingkungan kehidupan tradisional. Tulisan ini memfokuskan kajian pada tiga aspek, yaitu aspek sosial, politik, dan pertanahan. Ketiga aspek ini menjadi instrumen handal bagi pemerintah kolonial mengeruk keuntungan HASIL DAN BAHASANStruktur Sosial dan Politik 1. Secara umum terdapat tiga level masyarakat Priangan, yaitu menak sebagai kelas sosial paling tinggi, kemudian diikuti santana sebagai kelas menengah, dan somahan sebagai kelas bawah. Ada tiga kriteria yang dapat menentukan posisi seseorang dalam masyarakat saat itu. Pertama adalah faktor keturunan atau hubungan darah seseorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam birokrasi pemerintah. Seseorang yang memiliki satu karakteristik atau kedua-duanya, dia termasuk kelompok menak elite. Ketiga, kepemilikan seseorang terhadap tanah, yang kadang- 388Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkadang atau bahkan kebanyakan dari mereka, berkorelasi dengan posisinya dalam struktur birokrasi. Orang di luar kelompok menak dan santana dianggap sebagai orang kebanyakan commoners.Sebelum VOC be r k u a s a atas Priangan, struktur masyarakat Priangan terdiri atas kelas sebagai berikut. Struktur sosial paling atas adalah bupati, sebagai menak paling tinggi, dan keluarga bupati merupakan kelas yang tinggi juga. Kemudian diikuti pejabat-pejabat kabupaten, yang biasanya merupakan klien personal atau kerabat bupati. Termasuk dalam kelas ini adalah pejabat militer, sipil, agama, dan pengadilan. Mereka dikategorikan sebagai santana atau kadang-kadang disebut juga menak rendah. Kelompok pejabat ini terdiri atas orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, bakat dan kemampuan, atau kesetiaan kepada penguasa bupati. Pada periode yang kemudian, terutama setelah Pemerintah Kolonial memperkenalkan lembaga-lembaga pendidikan, stratiîżkasi sosial tidak lagi sekadar karena keturunan tapi ditentukan oleh fungsi dan pekerjaan. Kedua faktor ini, pendidikan dan pekerjaan, cenderung mengimbangi dominasi kelas menak di tengah masyarakat. Di antara orang Priangan, anggota keluarga menak atas yang memiliki akses sangat terbuka pada pendidikan Barat. Namun, keluarga menak rendah santana, karena jumlah anggota keluarganya yang lebih banyak, mungkin mayoritas dari merekalah yang secara riil memperoleh pendidikan ini. Pada permulaannya, Kompeni melindungi pola otoritas tradisional dengan tujuan menjadikannya sebagai alat untuk memperlancar dan mempercepat proses produksi tanaman ekspor. Selain itu, kebijakan ini pun dinilai dapat mengamankan penyerahan produksi. Selanjutnya Kompeni menciptakan ikatan kontraktual dengan elit tradisional. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan tereduksinya posisi bupati yang memiliki ketergantungan secara ekonomi kepada Kompeni. Pengambilalihan Priangan oleh Pemerintah Belanda dari Kompeni pada permulaan abad ke-19 berarti implementasi standar-standar administratif baru dalam wilayah ini sesuai dengan sistem hukum baru pula. Inovasi penting dalam organisasi politik yang diterapkan pemerintah kolonial adalah distribusi kekuasaan politik di antara pengawas-pengawas Belanda yang mengontrol prestasi bupati dan bawahannya. Perubahan ini berimplikasi pada perlunya membagi wilayah ke dalam bagian-bagian îżsik yang konkret, yang kemudian disebut keresidenan. Bupati ditempatkan di bawah kekuasaan residen. Bupati berubah menjadi pejabat dengan beberapa keterbatasan dan menjadi subordinat atas superioritas pejabat Belanda Kartodirdjo, 1984 134. Hal ini berakibat meningkatnya jumlah pejabat-pejabat Belanda, meskipun secara umum tetap terbatas. Pada tahun 1860 total jumlah pejabat Belanda yang tinggal di Priangan sebanyak 38 orang, dipimpin oleh residen yang tinggal di Bandung, tiga orang asisten residen di ibu-ibu kota kabupaten, dan sembilan inspektur tanaman. Seluruh sistem tanaman kopi diatur oleh 12 orang Eropa Svensson, 1992 109.Selain itu, tampilan administrasi pemerintah telah meningkatkan tuntutan yang besar untuk birokrasi. Dalam periode yang relatif singkat terbuka kesempatan bagi orang-orang non-menak atau santana untuk memasuki Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3892011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungbirokrasi pemerintahan. Pada tahun 1860, misalnya, tercipta kesempatan yang besar untuk bergabung dalam birokrasi di Priangan. Mengitari lima bupati terdapat pejabat yang memimpin wilayah. Mereka itu terdiri atas 73 kepala kacutakan district yang disebut wedana, kepala terup under-district yang disebut pattinggi, kepala desa yang disebut lurah, dan pegawai rendah di kampung. Selain itu, terdapat pejabat lain dalam posisi yang berbeda beberapa di antaranya yang terlibat dalam pengerjaan tanaman kopi, penyerahan kopi, yang bertanggung jawab mengorganisasi pekerja/buruh, atau yang menangani pengumpulan pajak, transportasi, polisi, dan yudisial. Selain itu terdapat juga pejabat-pejabat yang menangani urusan agama. Jumlah mereka sebanyak orang. Kesemuanya bertanggung jawab kepada bupati. Mereka itu terdiri atas 5 orang kepala penghulu, 6 orang kepala khalifah atau naib, 72 orang penghulu distrik, 99 orang khalifah atau naib distrik, orang lebe, 830 khatib, imam, modin, merbot, bilal, dan 73 amil zakat Van Rees, 1869; Svensson, 1992 110; Pijper, 1977.Pada tahun 1870 Pemerintah Kolonial mereorganisasi administrasi pemerintah pribumi berhubungan dengan prinsip-prinsip eîżsiensi dan efektivitas pemerintahan. Untuk tujuan-tujuan itu, struktur administrasi baru diciptakan. Pemerintah Kolonial mengurangi jumlah pegawai pribumi dalam birokrasi pemerintah, baik pegawai sekular maupun pegawai agama. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 10 Oktober 1870 dan dibukukan dalam Staatsblad tahun 1870 nomor 124 diputuskan bahwa jumlah pejabat pribumi dalam birokrasi pemerintah sebanyak orang dengan rincian sebagai berikut 5 bupati, 9 patih termasuk patih afdeling, 5 mantri kabupaten, 1 hoffddjaksa, 1 adjunct-hoofddjaksa, 8 jaksa, 8 adjunct-djaksa, 5 hoofd-penghulu, 4 penghulu, 63 wedana hoofd-district, 150 asistan wedana hoofd-onderdistrict, 9 onder-collecteur, 50 mantri pengairan, 82 juru tulis, dan 625 upas. Keputusan itu tidak menutup kemungkinan mengangkat orang lain sebagai pegawai sejauh bupati punya kesanggupan menggajinya Lubis , 1998 40. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga dalam hak dan kewenangan pegawai pribumi dikurangi oleh Pemerintah Kolonial. Bupati dan pegawai bawahannya telah kehilangan posisi supremasinya. Kelompok pegawai secara formal ditransformasikan ke dalam korps birokrasi profesional, pamongpraja, yang dipekerjakan oleh negara dengan gaji dan pola promosi yang IGAJI BUPATI DI KERESIDENAN PRIANGAN PER TAHUN 1871-1895BUPATI GAJI f.TUNJANGAN f.PERSENTASE PENYERAHAN PRODUKSI KOPI f.Cianjur - - 390Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSumber Henry Charles van Meerten. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Groun, hlm. jumlah persentase itu sesuai dengan perbedaan hasil panen kopi di tiap kabupaten. Sementara itu, gaji untuk pejabat-pejabat di bawah bupati tampak dalam tabel IIGAJI PARA PEJABAT KABUPATENDI KERESIDENAN PRIANGANTAHUN 1871-1895PEGAWAI GAJI PER BULAN f.Patih 250Wedana 200Ondercollector 150 â 200Jaksa 150Hoofdpenghulu 135Assistant Wedana 100Mantri 25Juru tulis 15Sumber Martanegara. 1923. Babad Raden Adipati Aria Martanegara. Bandung Aoerora, p. ukuran kekuasaan pun tampak pada pejabat pengawasan supervision Pemerintah Kolonial pada semua level pejabat pribumi. Bupati, dan wakil patih ditempatkan di bawah pengawasan Residen Priangan yang berkedudukan di Bandung. Delapan asisten residen serta stafnya ditempatkan di wilayah-wilayah berpopulasi besar. Sepuluh orang kontroleur Belanda, dan kemudian juga sejumlah onder-controleurs, ditempatkan untuk mengawasi wedana dan camat Svensson, 1992 116. Sebaliknya, penguatan pegawai bumiputera yang paling bawah diciptakan. Urusan-urusan desa yang sebelumnya ditangani oleh wedana atau camat diambil alih oleh komunitas desa bentukan baru yang didisain mengikuti model di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiap desa, yang disusun oleh 3-5 kampung, diberi otonomi untuk mengurus persoalan internalnya sendiri yang dipimpin oleh lurah. Lurah diberi hak untuk menarik pajak dan pelayanan untuk kepentingan desa, memelihara hubungan dengan tingkat administrasi yang lebih dari sisi agama, Priangan merupakan keresidenan yang penduduknya sangat ketat dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Kewajiban-kewajiban Islam dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Islam sebagai agama resmi memberikan struktur moral bagi kehidupan sosial dan memainkan peran penting dalam kehidupan orang Sunda. Salah satu indikatornya adalah jumlah orang Priangan yang menunaikan kewajiban ibadah haji. Pada tahun 1876 â 1888 jumlah jamaah haji dari Priangan jauh lebih banyak dibandingkan dengan keresidenan lain di Pulau Jawa. Jumlah jamaah haji dari Priangan adalah orang atau 22,1%. Jamaah haji secara keseluruhan dari Jawa pada periode tersebut adalah sebanyak orang Svensson, 1983 116. Selain menjadi indikator ekonomi, haji pun menjadi simbol âketaatanâ beragama. Penguasa-penguasa Priangan sering menunjuk kerabatnya bukan untuk menduduki posisi di pamongpraja, tapi pada posisi berpengaruh dalam jabatan-jabatan keagamaan, seperti korp penghulu dan pelayan masjid Palmer, 1959 50. Selanjutnya di Priangan pejabat keagamaan memiliki peran penting dalam struktur pemerintahan pribumi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3912011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungPenghulu, pejabat tertinggi keagamaan, banyak diisi oleh kerabat bupati. Mereka adalah pemimpin sejumlah besar rakyat. Pertangungjawaban mereka sering melampaui persoalan keagamaan; mereka sering menangani persoalan hukum bersama-sama dengan polisi dan jaksa. Pejabat rendah keagamaan, seperti lebe, amil, khatib, imam memiliki hubungan yang dekat dengan penduduk desa. Hampir semua siklus kehidupan memiliki hubungan dan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Mulai dari peristiwa kelahiran, pernikahan, kematian hingga budaya pengurusan padi dan ritus kesuburan tanah dan tanaman, pejabat-pejabat keagamaan memiliki peran penting. Mereka juga mengawasi dan mengatur manajemen irigasi dalam mengairi sawah. Kontrol irigasi melegitimasi âkewajibanâ keagama an dan membuat nya mudah dalam menetapkan besaran pemungutan zakat tanaman padi dan zakat fitrah. Svensson, 1992 111. Pada tahu 1870 pejabat keagamaan dicabut dari posisi strategisnya dalam pertanian. Mereka tidak boleh ikut campur terhadap masalah kehidupan keduniaan penduduk, seperti irigasi dan penanaman di luar pegawai pemerintah disebut somah commoners, yang kebanyakan dari mereka adalah petani. Mereka terdiri atas dua kelompok utama. Pertama adalah pribumi atau sederhananya disebut bumi. Bumi adalah penduduk inti kerndorpers yang merupakan orang pertama yang menduduki lahan, pemilik tanah yang mereka buka. Mereka juga memiliki rumah dan halamannya. Mereka memiliki hak waris atas tanah, yang secara prinsip dapat dibeli atau dijual. Tanah yang mereka miliki membuat mereka berkewajiban membayar pajak, mengerahkan buruh corvee-labour, dan menyerahkan kopi. Kelompok kedua adalah rumah tangga tidak memiliki tanah landless households. Mereka terdiri atas empat jenis yang berbeda. Pertama, manumpang, yang hanya memiliki rumah dan halamannya, tapi tidak memiliki tanah sawah atau kebun. Mereka bergantung pada rumah tangga bumi, bekerja sebagai penyewa tenants, bagi-hasil sharecroppers, atau sederhananya sebagai buruh tanam. Manumpang bisa menjadi bumi ketika mereka, berkat kerja kerasnya, memiliki tanah sendiri. Kedua, rahayat yan g dihubungkan dengan pelayanan kepada berbagai menak, tapi biasanya juga kepada rumah tangga bumi. Di samping berbagai pelayanan, mereka menanam tanah pemilik patronnya secara bagi-hasil. Ketiga, kostangers, orang yang memiliki rumah di tanah menak atau bumi. Mereka bekerja untuk pemilik tanah yang sering juga disebut juragan baas atau huisvester. Keempat, bujang orang yang merupakan buruh bebas yang mendapatkan kehidupannya dengan bekerja serabutan di berbagai bidang pertanian, pengangkutan, dan lain-lain. Yang penting bagi mereka adalah mendapatkan upah. Selain itu, terdapat sekelompok kecil pedagang small group of petty trader, yang sekaligus juga sebagai rumah tangga petani, artisan yang tinggal terutama di dekat perkampungan yang besar Van Vollenhoven, 1918 706-707; Svensson, 1992 112; Lubis, 1998 137.Pemilikan dan Penggunaan Tanah2. Desa memiliki dua sumber natural, yaitu tanah dan orang yang membuat tanah itu produktif. Bagi penduduk petani, 392Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah adalah segalanya. Tidak hanya memiliki nilai ekonomi, di mana tanah bisa ditanami berbagai jenis tanaman baik subsisten maupun komersial, tapi juga memiliki nilai kultural dan bahkan nilai sakralitas yang tinggi. Di sanalah mereka dilahirkan, dibesarkan, dan di tempat yang sama mereka ingin dikuburkan, tidak jauh dari pekuburan leluhur mereka. Bagi masyarakat petani, tana h pun meru pakan sumber utama produksi dan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemilikan tanah membuat seseorang menempati prestise dan stratiîżkasi sosial tinggi, dan pertanyaan bisa diajukan berkait dengan persoalan tanah di pedesaan Jawa pada abad ke-19, sehingga mengundang debat di antara para peneliti. Pokok perdebatan tentang hak atas tanah di Jawa adalah apakah pemilikan tanah itu terletak pada penguasa, atau pada badan pemilik yang mengumpulkan pajak dan menentukan kegunaan tanah, atau pada badan korporasi seperti dusun kecil hamlet atau desa village, atau pada individu petani penanam. Selain itu, ada persoalan lain seperti apakah pemilikan tanah di Jawa itu bersifat individual atau komunal; dan apakah pemilikan tanah dihubungkan dengan kewajiban buruh, corvee. Meskipun semua itu merupakan persoal a n pe n t i n g y a n g m e n u n t u t penjelasan, namun yang akan diberi perhatian khusus dalam tulisan ini adalah tentang persoalan hak atas tanah pada abad ke-19 di Jawa umumnya dan di Priangan khususnya. Beberapa peneliti yang memberi perhatian terhadap persoalan ini di antaranya adalah Bergsma 1876, 1880, 1896, Rouffaer 1899-1905, 1918, C. Th. van Deventer, Van den Berg 1891, C. van Vollenhoven 1919, Robert van Niel 1992, dan Peter Boomgaard 1989. Nyatanya, tidak ada pandangan yang disepakati secara umum tentang masalah abad ke-19, tidak jelas konsep pemilikan tanah di Jawa. Lebih dari itu, sebelum tahun 1860 tidak ada yang sungguh-sungguh diketahui tentang hak orang terhadap tanahnya van Vollenhoven. 1919 48. Hak atas tanah merupakan subjek yang sangat kompleks karena terdapat variasi regional dan te r d a p a t n y a problem terminologi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sesungguhnya, agak sulit menyederhanakan formulasi tentang sist e m pe m i l ikan tanah di se l uruh Jawa. Kesulitan itu muncul karena ada sejumlah variasi dalam model pemilikan tanah, yang merefleksikan keragaman penekanan dan beragamnya model-model lokal. Juga sering terjadi perubahan di tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Oleh karena itu, adalah logis bila ditemukan beragam ilustrasi pada model pemilikan tanah yang digambarkan oleh administrasi kolonial dan para peneliti. Di beberapa wilayah, pembagian tanah ter j adi dari tah u n ke tahun kare n a penanam yang sama; pada sisi lain, pembagian tanah berotasi di antara penduduk desa berdasarkan aturan yang jelas, sehingga masing-masing dapat memiliki bagian tanah yang baik dan jelek; di wilayah lain lagi, ada alternatif dalam pembagian tanah, sehingga seorang penanam cultivator mungkin memiliki akses atas tanah pada satu tahun, tapi kehilangan tanah pada tahun berikutnya karena beralih kepada orang lain. Ditemukan juga di beberapa tempat pemilik tanah mendapatkan pembagian Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3932011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah yang lebih luas dan berkualitas daripada yang lainnya. Di tempat lain, tanah dibagi secara rata di antara mereka yang berhak mendapatkannya. Di beberapa tempat lagi, pejabat desa mendapatkan jumlah tanah yang luas yang penggarapannya diserahkan kepada penduduk desa melalui sistem bagi hasil; di tempat lainnya petani dapat menjual tanahnya Elson, 1994 18-19. Ketidaksamaan pemilikan tanah dan variasi model pengalihan hak atas tanah mendorong peneliti untuk membagi masyarakat desa dalam beberapa kelas, yang secara umum terdiri atas dua kelompok, yaitu pendiri desa, kepala keluarga, atau mereka yang mendapatkan haknya atas tanah, dan mereka yang bergantung pada mereka. Yang pertama adalah pemilik tanah, mereka dikenakan pajak dan pelayanan, dan yang kedua orang-orang membantu mereka Elson, 1994 167. Dalam ide yang sama, Van den Bosch menyatakan bahwa pemilikan tanah merupakan hak kelompok tertentu dari penduduk desa itu, dan dibagi secara tidak merata, sementara itu ada kelompok penduduk yang lain dikeluarkan dari seluruh kep emi lik an dan bebas dar i pemilik s um s i y a ng p al i ng k ua t didasarkan pada sumber tradisi, bahwa semua tanah milik penguasa. Sumber tradisional abad ke-16, naskah Carita Parahiyangan, misalnya, secara implisit menekankan bahwa semua tanah milik penguasa dan kerabatnya. Rakyat hanya memiliki hak guna atas tanah. Sebagai kompensasinya, mereka diwajibkan tiap tahunnya menyerahkan persembahan baik dalam bentuk barang atau dalam pentuk pelayanan. Meskipun tidak ada data rinci tentang hak atas tanah pada periode selanjutnya, namun ada kesan bahwa pada masa yang selanjutnya petani penanam yang secara aktual mengarap tanah dapat mengalihkan hak guna atas tanah itu kepada orang lain, biasanya kepada ahli warisnya. Realitas semacam itu menjadi alasan bagi peneliti Belanda menyatakan hukum adat Indonesia sampai pada asumsi bahwa di Priangan tanah merupakan hak milik individu yang bisa diwariskan individual hereditary right. Meskipun asumsi bahwa penguasa adalah pemilik sejati atas semua tanah adalah semata-mata bersifat teoretis, tapi yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa penguasa berhak atas bagian dari hasil tanah, baik dalam bentuk uang, barang, atau tenaga. Sumber utama pendapatan penguasa datang dari tanah yang ditanami. Singkatnya, dikatakan bahw a pen guasa meru pakan pemi lik semua tanah yang darinya ia memperolah hasilnya dan pelayanan tenaga kerja. Mengidentifikasi pemilikan atas tanah dianggap penting pada pertengahan abad ke-19 ketika kapitalisme Belanda mengembangkan tahap di mana industrialisasi dapat dikerjakan di tanah jajahan. Fisibilitas itu sebagian didukung oleh pasar dunia atas produk-produk daerah tropis yang mengalami booming, sehingga di Negeri Belanda muncul tekanan dari kelompok Liberal untuk menghapuskan sistem lama. Manajemen kolonial konservatif yang berlaku sepanjang Sistem Tanam Paksa diganti dengan kolonisasi Jawa oleh penanam swasta private planters, yaitu mengubah kebijakan kolonial dengan menempatkan perkebunan swasta sebagai inti manajemen atas Jawa. Kelompok Liberal menuntut aturan hukum dalam kebijakan tanah, sehingga penanam swasta diberi 394Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkebebasan menggunakan tanah diakui sebagai pemilik tanah, penggarap tanah orang pribumi bisa menjual atau menyewakannya, dan di tanah milik negara atau tanah liar pengusaha swasta diizikan untuk menggunakannya dalam waktu yang cukup lama dengan cara menyewa erfpacht. Kelompok Konservatif menolak usulan itu dengan beberapa alasan hak orang Indonesia atas tanah adalah di bawah pribumi, komunal dan hukum adat, sehingga tidak cocok digunakan konsep pemilikan seperti dipahami di Barat modern Kano, 1977 4-5. Untuk mengakhiri kontroversi itu dan melahirkan kebijakan yang memuaskan kedua pihak, Liberal dan Konservatif, dianggap perlu meneliti dan menemukan hak yang benar yang secara aktual dipraktikkan oleh orang Indonesia atas tanahnya1 Berdasarkan hasil survey itu beberapa informasi tentang bentuk penggunaan tanah yang dapat ditanami arable land dan pemilikannya dapat jelas diketahui. Tanah yang dapat ditanami terdiri atas dua bagian sawah paddy îżelds dan ladang dry îżelds; sedangkan yang berkait dengan kepemilikan, sawah terdiri atas tiga bentuk, yaitu milik individu yang bisa diwariskan heritable individual possession, erfelijk individueel bezit, milik komunal communal possession, gemeen bezit, dan tanah jabatan salary fields for officials, ambtsvelden; sementara tanah kering 1 Survey ini dilakukan atas perintah Raja yang dituangkan dalam the Kingâs Proclamation of 1866 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang bertururt-turut dikeluarkan dua undang-undang East India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. Bentuk pertama, pemilikan sawah, adalah pemilikan individual yang bisa diwariskan, yaitu bentuk tanah di mana individu tertentu menggarapnya secara terus-menerus; ia dapat memindahtangankan tanah itu kepada ahli warisnya atau kepada orang lain. Prinsipnya adalah semua anak memiliki hak atas sebagian tanah itu sebagai warisan, sehingga dengan demikian tanah bisa terbagi-bagi menjadi sangat sempit extremely small parcels Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Sangat tipikal, tanah itu dapat dengan bebas pindah kepemilikan baik karena dijual, disewakan, atau digadaikan. Istilah pribumi atas tanah yang dapat disewakan heritable individual possession adalah dalam bahasa Jawa umumnya disebut jasa. Di Jawa Barat, khususnya Priangan disebut Jasa mengacu pada hak yang diperoleh karena jasa. Dengan kata lain, istilah jasa mencakup tiga konsep pengerjaan membuka tanah liar laboring to clear waste land, pihak yang secara aktual mengontrol dan menggarap tanah, dan hak penggarap atas tanah dengan tanpa pemisahan makna di antara kedua hal itu. Sementara itu, istilah milik berarti lebih dekat dengan konsep modern tentang pemilikan. Dalam beberapa kasus, pemilik adalah orang yang secara aktual membuka tanah untuk ditanami. Tanah itu dimiliki 2 Dalam bahasa Jawa, jasa secara etimologis berarti âeverything that is obtained by the effort of individuals who bring waste land under cultivationâ; sementara milik, berasal dari bahasa Arab milk, dalam bahasa Sunda digunakan dalam pengertian âto possessâ, atau âto be made oneâs ownâ, lihat Eindresume II, hal. 44.; Hiroyoshi Kano, op. cit., hal. 12.dry îżelds hampir selalu dianggap milik pribadi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3952011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungoleh orang yang membukanya. Jadi, pemilikan individu yang bisa diwariskan the heritable individual possession adalah hanya hak pemilik atas tanah didasarkan atas kontrol aktual. Model kepemilikan individual seperti itu sudah lama berlangsung di Priangan. Pemilik tanah individual dapat menggarap sendiri tanahnya, atau menyewakannya kepada orang lain secara bagi hasil Boomgaard & van Zanden. 1990 22.Dari total 105 desa yang disurvey di Priangan, 101 desa di antaranya atau 96% merupakan tanah sawah yang merupakan hak milik. Bila dibandingkan dengan keresidenan lain di Jawa, pada saat yang sama, di Keresidenan Semarang total sawah milik individu hanya 10% dan di Keresidenan Surabaya adalah 39%. 3 Menarik diketahui alasan mengapa di Priangan hak individu atas tanah sangat dominan. Apakah karena pengaruh Islam yang cukup kuat. Bukan tempatnya di sini untuk mengeksplorasi apakah hak individu yang dominan di Priangan memiliki kaitan dengan kuatnya pengaruh Islam. Namun demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara hak penguasa lokal atas tanah dan atas upeti sudah terbangun, dan hak atas tanah diabadikan dalam bentuk yang lebih kuat. Di bagian lain di Nusantara, termasuk Priangan, pengaruh Islam lebih kuat dan dapat menjadi instrumen dalam perluasan hak individual Einsresume II 44-45.Bentuk yang kedua, pemilikan secara komunal, adalah bentuk di mana seorang individu menggunakan tanah tertentu yang hanya bagian tanah komunal desa, sehingga individu tidak berhak memindahtangankan tanah itu. 3 Dihitung dari Eindresume I, bijlage pemilikan ini memiliki dua tipe, distribusi periodik dan non-periodik. Distribusi periodik adalah kepala desa dapat mendistribusikan tanah itu tiap tahun di antara penduduk desa yang berhak mendapat bagian tanah itu. Distribusi non-periodik adalah tanah yang dimiliki secara komunal dapat juga dikuasai di bawah sistem pembagian yang ditetapkan, tapi pemilik tidak dapat menjual atau memberikannya kepada pihak lain Boomgaard & van Zanden, 1990. Dari total desa di Priangan yang disurvey, tidak ada sama sekali tanah komunal,4 sedangkan di Semarang dan Surabaya terdapat 90% dan 70% tanah Jenis pemilikan komunal ini merupakan bentuk umum yang berlaku di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Di Jawa Tengah pemilikan semacam ini ada dua jenis, yaitu di keresidenan sebelah timur umumnya tanah komunal periodik, sedangkan di keresidenan sebelah barat umumnya tanah komunal yang ditetapkan îżxed Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Di beberapa daerah di Jawa Tengah bagian selatan sistem yang khusus berlaku, karena, pertama semua tanah miliki penguasa sultan dan sunan, yang selama berabad-abad memberikan garapan tanah, apanage, kepada pegawai dan kerabatnya; kedua, petani kehilangan hak permanen dan hanya menggarap tanah penguasa berdasarkan peraturan share-cropping, dan pengawasan serta pengumpul hasil 4 Di tempat lain di Jawa Barat, terutama di daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah, jenis tanah komunal terdapat juga, seperti di Ciamis, Kuningan, Cire-bon, Indramayu, dan Majalengka; lihat Edi S. Ekadjati, 1995 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. 396Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungpanen langsung dilakukan oleh pihak penguasa Svensson, 1983 85. Komunalisasi tanah secara sistematis mendapat perhatian Pemerintah Kolonial karena berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang melekat pada penggarap tanah. Penggarap aktual atas tanah memiliki kewajiban untuk menyerahkan pajak dan pelayanan. Pada masa pemerintahan Interregnum Inggris, dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda, ide bahwa sawah adalah milik komunal tidak hanya sesuai dengan ide mereka tentang ânegara adalah pemilik sejati atas tanahâ, tapi juga bersesuaian dengan keinginan mereka untuk memelihara dan menjaga pemungutan sewa tanah Land Rent dan distribusi tenaga buruh sesederhana pemerintah terhadap klaim bahwa seluruh tanah adalah milik negara dinyatakan pada, paling tidak, tiga aturan perundang-undangan. Klaim seperti itu membuat pemerintah memiliki otoritas untuk mengatur distribusi tanah baik komunal maupun individual. Dalam ayat 74 Undang-Undang Tahun 1830 dikatakan bahwa âthe lands of the island of Java, which are still owned by the government, shall, insofar as they are cultivated by the Javanese, be permanently leased to the native peopleâ. Pernyataan yang sama dinyatakan pada ayat 62 Undang-Undang Tahun 1836 tahun 1854 bahwa âlands cultivated by the Javanese, with the exception of the so-called Private Estates, were the property of the stateâ. Begitu juga dalam Undang-Undang Agraria Tahun 1870 disebutkan bahwa âthe Government as the lawful successor of the native rulers is, according to custom, the supreme proprietor of all lands, cultivated or notâ Boomgaard and van Zanden, 1990 22; Fasseur, 1992 30-31. Pernyataan-pernyataan undang-undang tadi menjadi dasar bagi pemerintah untuk menarik pajak dari tanah jabatan ambtsvelden adalah tanah sawah yang diberikan kepada pejabat, baik pemimpin pribumi seperti bupati dan kepala distrik maupun kepala desa atau pegawai desa. Tanah jabatan lungguh dan bengkok dalam bahasa Jawa, atau carik dalam bahasa Sunda kepala desa atau pejabat di bawahnya ditemukan di hampir seluruh desa di Keresidenan Cirebon, di seluruh keresidenan di Jawa Tengah, di seluruh keresidenan di sebelah barat Pasuruan di Jawa Timur. Namun, di empat keresidenan di Jawa Barat, kecuali Cirebon, dan seluruh keresidenan sebelah timur Probolinggo di Jawa Timur tidak seluruh desa memiliki tanah jabatan. Dari total desa di Priangan yang disurvey hanya ditemukan 5% tanah jabatan, sedangkan di Semarang 84% dan Surabaya 77%.6 Distribusi tanah jabatan hampir bersesuaian dengan pemilikan tanah komunal. Di hampir seluruh desa yang berlaku pemilikan tanah komunal, jenis pemilikan tanah jabatan pun berlaku luas. Pemilikan tanah individual, kumunal, dan jabatan hanya berlaku untuk tanah sawah; sedangkan tanah kering seperti tipar, huma, halaman, kebun hampir merup aka n h ak milik pribadi. Dalam kasus Priangan, dari 105 desa yang disurvey terdapat hanya 15 desa tanpa tanah kering. Jadi, 90 desa 6 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3972011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungmemiliki lahan kering, dan semuanya merupakan hak milik hasil survey yang disponsori oleh pemerintah itu relatif sama dengan survey yang dilakukan oleh para peneliti. Van Deventer, misalnya, mengatakan bahwa selama masa VOC, kemudian Pemerintah Hindia Belanda, raja-raja Jawa adalah pemilik semua tanah. Hak yang dialihkan kepada Kompeni maupun Pemerintah Hindia Belanda merupakan akibat dari perjanjian-perjanjian dan perebutan seizures. Pandangan seperti itu diterapkan juga oleh Pemerintah Interim Inggris 1811-1816, sehingga pajak atas tanah diterapkan land rent/landrente Bomgaarod & van Zanden, 1990 21. C. van Vollenhoven menegaskan bahwa desa Jawa merupakan pusat area kontrol petani agrarische beschikkingskring. Termasuk dalam hak kontrol desa adalah hak milik atas tanah penduduk pribumi tertentu secara individu. Hak ini didasarkan pada pembuka pertama tanah îżrst reclamation of the land dan bisa mewariskan serta tanah, dikaitkan dengan kepentingan rumah tangga petani, terdiri atas tiga kategori utama, yaitu tanah yang dapat ditanami arable, tanah yang sudah ditanami cultivated, dan tanah liar wasteland.8 Namun, di antara 7 Eindresume, I, bijlage A, pp. 6-10; Di tanah kering tidak dimasukkan kopi dan kebun Sumber-sumber arsip, khususnya Pri-angan, membagi kegunaan tanah ke dalam 10 kategoriyaitu halaman, sa-wah, tegal, kolam vischvijver, hutan nipah nipa boschen, kebun sirih sirih tuinen, kebun kelapa klapper tuinen, kebun bambu bamboo tuinen, kebun lainnya, dan kopi; lihat Preanger 6/12, yang tiga itu, tanah yang dapat ditanami arable land yang sangat problematik; karena ia sangat dekat dengan kebutuhan hidup petani dan pada saat yang sama sangat berkaitan dengan proyek-proyek pertanian kolonial. Arable land sendiri terdiri atas sawah dan tanah kering. Tingkat ketersediaan air berpengaruh terhadap tipe sawah. Pada abad ke-19 tidak kurang dari 9 kategori sawah, yaitu sawah loh1. , sawah dengan suplai air yang mengalir,sawah cengkar2. gares, tanah yang kurang subur karena kurang suplai air,sawah3. rawa, sawah di tanah berpaya-paya,sawah4. banarawa, sawah di tanah berpaya yang biasa mengering bila musim kemarau,sawah5. ilir, sawah dengan suplai air sepanjang waktu,sawah6. tadah hujan, sawah yang hanya berair di musim hujan,sawah7. buntar, sawah yang sangat jauh dari sumber air,sawah8. tumpang, sawah yang terletak pada sumber air Bottema, 1995 51. Klasifikasi di atas meliputi tiga situasi yang berbeda secara esensial, yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan rain-fed sawah dan saw ah berpaya swampy sawah. Sementara itu, tanah kering memiliki dua kategori, yaitu tipar dan huma tegal dan gaga, bahasa Jawa. Jenis tanah yang ditanami cultivated area , t ap i t i d a k dikelompokkan sebagai arable land, terdiri atas dua jenis yaitu kebon Algemeen Verslag 1876. 398Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandunggarden atau orchard dan pakarangan compounds.Tanah liar, termasuk hutan, adalah penting bagi kehidupan ekonomi petani. Hutan dipenuhi banyak jenis pohon yang menyediakan tidak hanya bahan makanan dan minuman tapi juga untuk yang lainnya, seperti rotan, bahan-bahan untuk tenun, pohon aren, lontar, gebang, alang-alang, dan tahun 1876 proporsi penggunaan tanah di Priangan di luar tanah liar secara umum adalah sebagai berikut halaman compound 5,35%, sawah 56,95%, tanah kering tegal 28,39%, kebun 9,31%. Termasuk ke dalam sawah adalah sawah irigasi, tadah hujan dan berpaya; dan kebun di sini termasuk kolam ikan îżshpond, kebun nipah, kebun sirih, kebun kelapa, kebun bambu, kebun kopi, dan Dalam hal penggunaan tanah yang ditanami padi di tiap-tiap kabupaten di Keresidenan Priangan secara umum diperoleh gambaran sebagai berikut. Kabupaten Bandung seluas bau, Sukapura bau, dan Cianjur bau. Namun demikian, berdasarkan pada kategori arable land, sawah irigasi lebih banyak ditemukan di Kabupaten Bandung, yaitu seluas bau, sawah tadah hujan di Kabupaten Sukapura seluas bau, sawah berpaya di Kabupaten Sumedang seluas bau, dan tegal di Kabupaten Sukapura seluas bau Preanger 6/12, 1876. Dari waktu ke waktu luas tanah yang dimanfaatkan selalu berubah berkaitan dengan perubahan fungsi dan 9 Kebun kopi di sini di luar tanaman kopi pemerintah; artinya kopi ditanam oleh petani pada tanah miliknya sendiri ber-dasarkan keinginan mereka. reklamasi tanah baru, baik sawah maupun tanah kering. Dibandingkan luas total tiap kabupaten dengan luas tanah yang ditanami dapat ditemukan sisa tanah yang termasuk tanah yang digunakan untuk menanam tanaman TABEL IIIPEMANFAATAN TANAH DI PRIANGAN 1878Catatan* tidak termasuk gunung dan sungai. Data diolah dari Priangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. **Data diolah dari Algemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RI.*** termasuk tanah yang digunakan untuk tanaman kopi, teh, dan tanah terdapat data kuantitatif tentang tanah milik individu dan berapa luasnya. Namun demikian diasumsikan bahwa ada dua titik ekstrem pemilik tanah, yaitu tuan tanah landlords dan tidak memiliki tanah landless. Di antara dua titik ekstrem itu terdapat pemilik 10 Administrasi kolonial, yang biasanya melalui the Cultivation Reports menye-diakan data yang lengkap untuk tana-man tebu dan indigo, tidak pernah me-nyebutkan berapa luas bau tanah yang digunakan untuk tanaman TOTAL*TANAH DIGUNAKAN UNTUK**bau SISA***bau1Halaman Sawah Tegal Kebun SubtotalBandung 965 64562 393 33661 116 984 11690 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3992011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah dengan luasan yang bervariasi yang umumnya tidak terlalu PENUTUPPriangan abad ke-19 bukan lagi issue lokal, tapi sudah masuk orbit persoalan regional, bahkan internasional. Semua itu terjadi karena komoditas yang dihasilkan Priangan yang laku di pasar internasional. Nila, kopi, teh, dan kina merupakan empat produk unggulan yang berasal dari Priangan pada abad ke-19, di samping produk lainnya yang masuk kategori bukan produk unggulan minor crops, seperti katun, murbai sutra, cengkih, lada, tembakau, dan sebagainya. Optimasi produk komoditas itu sangat mungkin terjadi berkat rekayasa pemerintah kolonial terhadap aspek sosial, politik, dan pertanahan di wilayah Keresidenan Priangan dan di daerah-daerah SUMBERAlgemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RIBersma. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. 3 volumes Batavia 1876. 1880. 1896. Boomgaard. Peter. 1989. Between Sovereign Domain and Servile Tenure The Development of Rights to Land in Java 1780-1870. Amsterdam Free University P. & van Zanden. 1990. âFood Crops and Arable Lands. Java 1815-1942â. in Changing Economy Indonesia. vol. 10. Amsterdam Royal Tropical Institute. Bottema. Jan Willem Tako. 1995. Market Formation and Agriculture in Indonesia from the Mid 19th Century to 1990. Doctor Dissertation at the Katholieke Universiteit Nijmigen. Jakarta Drukkerij Desa India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. specifying details. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. Zamengesteld door den Chef der Afdeeling Statistiek ter Algemeene Secretarie. Eerste Gedeelte. Batavia â Ernst & Co.. 1876. bijlage A. Ekadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka Locher-Scolten. 2000. âDe kolonie verhouding in de 19e en 20e eeuwâ. Spiegel historical. Vol. 35. no. 11-12; hlm. 1994. Village Java under the Cultivation System 1830-1870. Sydney Allen and Unwin. 400Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungEncyclopadie van Nederlandsch-Oost Indie. 1st edition. vol. 3. hlm. Vincent. 1999.âJava in the ineteenth century consolidation of a territorial stateâ. in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history of Indonesia. 1800-2000. Penultimate Draft. Passau; hlm. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo- Japan Insitute of Developing Economies. Kartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung Pusat Informasi Kebudayaan 1923. Bab a d R ade n A d i pat i A r i a Martanegara. Bandung âMaten en Gewichten van Nederlandsch Oost-Indieâ. Handboek voor Cultuur en Handels-Ondernemingen in Nederlandsch Indie. 1914. âOekoeran dan Takaran. Timbangan. Mata Oeangâ. Taman Pangajar. Pijper. 1977. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 â 1950 terjemahan. Jakarta Universitas IndonesiaPriangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. Preanger 6/12. 1876Rouffaer. 1899-1905. âVorstenlandenâ in Encyclopaedie van Nederlandch-Indie. vol. IV. âs-Gravenhage/Leiden. hlm. 1918. âDe agrarisch rechtstoestand der inlandsche bevolking op Java en Madoera.â BKI 74 1918. hlm. 305-98; Svensson. Thommy. 1983. âPeasants and Politics in Early Twentieth-Century West Javaâ. in Thommy Svensson and Per Sorensen eds.. Indonesia and Malays; Scandinavian Studies in Contemporary Society. London and Mamo Curzon Press. hlm. Thommy. 1992.âState Bureaucracy and Capitalism in Rural West Java in the 19th and 20th Centuryâ. in Bernhard Dahm ed. Regions and Regional Developments in the Malay-Indonesian World. Th. V. 4. 15 October 1903. hlm. Leslie H. status and power in Java. New York Humanities Otto Harrassowitz; hlm. den Bosch. âVerslag mijner verrigtingenâ. hlm. 423 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.4012011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungvan den Berg. âHet eigendomsrecht van den staat opden grond op Java en Madoeraâ. BKI 40 1891. hlm. 1-26; van Meerten. Henry Charles. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Niel. Robert. 1992.âRights to Land in Javaâ. in Robert van Java under the Cultivation System; Collected Writing. Leiden KITLV Press. hlm. Rees. 1869 Rees. Otto van. 1869. Overzigt van de geschiedenis der Preanger regentschappen. Batavia Vollenhoven. C. 1919. De Indonesier en zijn Grond. Leiden Brill;Zakaria, Mumuh Muhsin. 2010. Priangan Abad ke-19 dalam Arus Dinamika Sosial-Ekonomi. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Bandung Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. ... Dengan semangat interseksionalitas dalam feminisme, pemikiran dan gerakan para "feminis lokal" ini perlu disuarakan kembali demi mencapai feminisme yang relevan bagi setiap perempuan dalam bentang geografi politik tertentu. Penelitian etnografi pada tahapan akhir akan melalui suatu proses evaluasi, yang pertimbangannya didasarkan pada kontribusi substansial penelitian, tingkat estetika penulisan, tingkat faktualitas dan dampak yang bisa diberikan Spradley, 1979Spradley, , 1980 Perhatian ini tidak terlepas dari posisi Cianjur yang ketika itu merupakan pemasok salah satu komoditas kopi nomor satu di Jawa Barat 11 Zakaria, 2011c Breman, 2014;Herlina et al., 2018;Lasmiyati, 2015. 22 Uga merupakan suatu tradisi lisan di kalangan orang Sunda yang dipercaya sebagai "bisikan gaib" dari para karuhun nenek moyang, yang mana biasanya muncul ketika terdapat perubahan-perubahan tertentu di kalangan orang Sunda a new life movement. ... Muhamad AlnozaRaden Ayu Tjitjih Wiarsih, also known as Juag Tjitjih, was a figure in the early 20th century women's movement from Cianjur Regency, West Java. The existence of this character in Cianjur cannot be separated from a cultural heritage building called Bumi Ageung, where this house is the residence of Juag Tjitjih and her family and descendants. This research is generally carried out to answer problems, regarding the form of collective memory that is still being taught by the inhabitants of Bumi Ageung regarding Juag Tjitjih. The problem of this research is also related to other problems that are trying to be answered, namely regarding the background of the formation of the collective memory of Juag Tjitjih so that it is shaped in such a way. The main objective of this research is to find out how the leaders of the women's movement in Tatar Sunda are remembered by the community, in this case one of them is Juag Tjitjih. This study thus uses a qualitative method, in which the data collection method is carried out by participant observation and indepth interviews. At the analysis stage, this study adopts the deconstruction analysis method initiated by Jacques Derrida. The research ultimately found that Juag Tjitjih was remembered as a different figure from mainstream identity in Tatar Sunda in the 20th century. This negation between Juag Tjitjih and the soul of the Cianjur people's era is seen as having several paradoxical aspects in the narration, so that it is suspected that there has been a phenomenon called by Eric Hobsbawm as the invention of tradition. Mumuh Muhsin ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan moment penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Hal tersebut tidak serta-merta mematikan aktivitas perekonomian dan pertanian subsitem penduduk Priangan. Malah yang terjadi adalah hubungan komplementer antar-keduanya. Hal ini dimungkinkan selain karena faktor geografis-ekologis yang kondusif juga karena jenis tanaman yang diusahakan dan jenis tanah yang digunakan tidak menyaingi sektor ekonomi pertanian. Peran elit lokal sangat besar dalam menciptakan keseimbangan dan harmonisasi relasi antar penduduk pribumi, pemerintah kolonial, dan elit lokal sendiri yang pada gilirannya berpengaruh terhadap peningkatan produk dan terciptanya suasana aman. Fakta historis yang ditemukan di Priangan menjadi indikator penting yang menjelaskan derajat relatif kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian yang saya lakukan ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahapan kerja heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kata Kunci Sejarah, Priangan, Ekonomi, van der KraanR. E. ElsonPart 1 The social and economic context peasant society and economy in early 19th-century Java changing state, changing village. Part 2 The elements of the cultivation system the introduction and consolidation of the cultivation system crisis in the cultivation system reform and decline. Part 3 The cultivation system and social change the transformation of village institutions changing labour relations domestic cropping under the cultivation system trade and industry population growth and movement prosperity, poverty and Sunda Suatu Pendekatan SejarahEdi S EkadjatiEkadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i aHoubenJ H VincentHouben. Vincent. 1999. "Java in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i a. 1 8 0 0 -2 0 0 0. Penultimate Draft. Passau; hlm. Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century JavaKanoHiroyoshiKano. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo-Japan I n s i t u t e o f D e v e l o p i n g Adil. Jakarta Sinar HarapanKartodirdjoSartonoKartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Harapan.
Strukturpemilikan tanah Ada tiga sistem kepemilikan tanah di desa yaitu tanah bondo desa, tanah bengkok, dan tanah milik rakyat (perseorangan). Dari ketiga sistem tersebut sudah tentu yang mempunyai kesempatan untuk memiliki dan mengelola tanah usaha tani hanyalah sebagian kecil dari petani yang kaya.
ï»żAuthors Irsal Marsudi Sam Setiowati Setiowati Rakhmat Riyadi DOI Abstract Abstract Most of the land beach border Village Bintarore has been controlled and owned by the community. The purpose of this research are 1 to know the kind of land tenure, land ownership, land use and land utilization; 2 Land Office Policy in Bulukumba Regency granting land rights; 3 the suitability of the land use and land utilization with RTRW. The research was conducted using qualitative methods for data analysis, survey and interview methods for data collection and the use of the census method. Based on the results of the study are known 1 land on the beach border Village Bintarore is controlled by the Government, the public and legal entities. Types of landholdings consists of State land and land ownership rights. Type of land use consists of the use of the open land for housing, services, government agencies, religious services, rental services, workshop, warehousing, graves, sports field, industry, trade and services mix. Land utilization type consists of utilization as a place of residence, mix, economic, social, agricultural and not utilized; 2 Bulukumba District Land Office do policies to keep providing land rights in the area of the border of the Bintarore Village beach, 3 there are 87,19% mismatch between the use and utilization of land at Bintarore Village beach border with IP4T, RTRW, beach Sebagian besar tanah sempadan pantai Kelurahan Bintarore telah dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat. Tujuan penelitian untuk mengetahui 1 Jenis penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; 2 Kebijakan Kantor Pertanahan Kabupaten Bulukumba dalam pemberian hak atas tanah; 3 Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan RTRW. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan melalui survei dan wawancara serta menggunakan metode sensus. Berdasarkan hasil penelitian diketahui 1 Tanah di sempadan pantai Kelurahan Bintarore dikuasai oleh pemerintah, masyarakat dan badan hukum. Jenis pemilikan tanah terdiri dari tanah negara dan tanah hak milik. Jenis penggunaan tanah terdiri dari penggunaan untuk perumahan, tanah terbuka, jasa instansi pemerintah, jasa peribadatan, jasa sewa, perbengkelan, pergudangan, kuburan, lapangan olahraga, industri, jasa perdagangan dan kebun campuran. Jenis pemanfaatan tanah terdiri dari pemanfaatan sebagai tempat tinggal, campuran, ekonomi, sosial, pertanian dan tidak dimanfaatkan; 2 Kantor Pertanahan Kabupaten Bulukumba melakukan kebijakan untuk tetap memberikan hak atas tanah di kawasan sempadan pantai Kelurahan Bintarore 3 Terdapat 87,19% ketidaksesuaian antara penggunaan dan pemanfaatan tanah di sempadan pantai kelurahan Bintarore dengan Kunci IP4T, RTRW, sempadan pantai. Downloads Download data is not yet available. Author Biographies Irsal Marsudi Sam Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Setiowati Setiowati Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Rakhmat Riyadi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional References Harsono, B 1997, Hukum agraria indonesia sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Limbong, B 2014, Politik pertanahan, Pustaka Margaretha, Jakarta. Parlindungan, AP 1991, Berakhirnya hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA, CV Mandar Maju, Bandung. Puspasari, S & Sutaryono 2017, Integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang, STPN Press, Yogyakarta. Santoso, U 2010, Hukum agraria dan hak-hak atas tanah, Prenada Media Group, Jakarta. Wiradi, G 1989, Masalah tanah di Indonesia, Bharata, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Peisisr dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 21 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bulukumba. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 7 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2022. How to Cite Sam, I. M., Setiowati, S., & Riyadi, R. 2020. Analisis Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah di Sempadan Pantai di Kelurahan Bintarore. Tunas Agraria, 32, 122â139.
ï»żSwastanisasiPerkebunan Di Pulau Jawa Masyrullahushomad 1 Sudrajat 1 1 Afiliasi (Program Studi Pendidikan Sejarah Pascas arjana Universitas Negeri Yog yakarta , Jalan
Abstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakanmomen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatanhampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanamankomersial yang laku di pasar Internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Gunamengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukanrekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politikyang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demikepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesarbesarnyabagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupunyang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untukmemasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek padaperubahan-Perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengahpriyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawaipemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor âdarahâ geneologis, tapi faktorkemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain,secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga,konsekuensi dari Perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanyaterpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi denganelit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapipengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanahsebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demikepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, danpertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kolonial.
Selainitu penciptaan sosial, dalam hal ini kapitalisme, juga terjadi di Jawa. Kapitalisme membuat pola dan sistem pertanian berubah dari sistem tradisional-homogen (kebersamaan sosial dan ekonomi) ke sistem pemilikan tanah secara pribadi yang memunculkan kelompok golongan petani atas dan proletar (petani tak bertanah).
ArticlePDF Available AbstractTulisan ini menjelaskan bahwa sistem tanam paksa adalah politik imprialisme terhadap tanah jajahan yang dianggap sebagai politik tidak bermoral, tidak humanis, dan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Agar tidak salah kaprah ada baiknya kita perlu memahami perbedaan antara sistem itu sendiri yang dianggap tidak dapat dibenarkan, dengan dampak penerapan tanam paksa secara konkret bagi masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa. Para peneliti sejarah juga berpendapat bahwa tanam paksa adalah sistem yang revolusioner dan merupakan cikal bakal perubahan tradisi di masyarakat Jawa. Sistem ini bermanfaat karena ekonomi uang telah masuk ke desa-desa, yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian, tenaga buruh menjadi murah dan masyarakat pedesaan mengenal sistem permodalan sehingga terjadi perubahan pola transaksi dari pola transaksi tradisional ke arah pengembangan ekonomi moneter. Sementara penelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC. Kata kunci Dampak, Penerapan, Tanam Paksa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Dampak Tanam Paksa DAMPAK PENERAPAN SISTEM TANAM PAKSA BAGI MASYARAKAT Oleh Zulkarnain Pendidikan Sejarah FISE UNY Abstrak Tulisan ini menjelaskan bahwa sistem tanam paksa adalah politik imprialisme terhadap tanah jajahan yang dianggap sebagai politik tidak bermoral, tidak humanis, dan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Agar tidak salah kaprah ada baiknya kita perlu memahami perbedaan antara sistem itu sendiri yang dianggap tidak dapat dibenarkan, dengan dampak penerapan tanam paksa secara konkret bagi masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa. Para peneliti sejarah juga berpendapat bahwa tanam paksa adalah sistem yang revolusioner dan merupakan cikal bakal perubahan tradisi di masyarakat Jawa. Sistem ini bermanfaat karena ekonomi uang telah masuk ke desa-desa, yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian, tenaga buruh menjadi murah dan masyarakat pedesaan mengenal sistem permodalan sehingga terjadi perubahan pola transaksi dari pola transaksi tradisional ke arah pengembangan ekonomi moneter. Sementara penelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC. Kata kunci Dampak, Penerapan, Tanam Paksa. A. Pendahuluan Perang kemerdekaan Belgia dan Perang Diponegoro memerlukan biaya cukup besar, dan untuk menutupi anggaran pembiayaan perang tersebut, Belanda terdorong untuk melakukan kembali politik konservatif dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Konsekuensi dari sistem konservativisme ini adalah diberlakukannya Sistem Tanam Paksa atau lebih dikenal dengan cultuurstelsel pada tahun 1830. Selain untuk pembiayaan perang, pemberlakuan sistem tanam paksa bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari tanah jajahan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Oleh karenanya pemerintah Hindia Belanda mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan dalam proses penanaman tanaman yang berorientasi ekspor dan bernilai ekonomis tinggi. Sikap konservatif ini bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan cara melibatkan penguasa tradisional Jawa, sehingga INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. penguasa tradisional secara langsung maupun tidak langsung juga ikut menikmati MT. Kahin dalam Sartono Kartodirdjo, 2002 126. Kemudian muncul pertayaan, apakah akan tetap terjadi perbedaan perkembangan ekonomi seandainya sistem Tanam Paksa tidak pernah diterapkan di tanah Jawa .....?. Bagaimanakah jika sebagai pengganti sistem tanam paksa pemerintah kolonial Belanda tetap menerapkan rencana Van den Bosch ini pada tahun 1830 yakni melanjutkan arah yang telah digambarkan oleh Du Bus seperti yang pernah diterapkan pada tahun 1827.....?. Pertanyaan pertayaan ini terasa sulit untuk dijawab karena peristiwa itu belum pernah terjadi dan hanyalah pegandaiaan belaka, tetapi dengan munculnya pertanyaan tersebut paling tidak dapat merenungkan kecenderungan yang akan terjadi dalam jangka panjang, karena pada dasarnya kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial sepenuhnya mengakomodir pola-pola sosial dan ekonomi yang sudah ada dalam masyarakat Jawa Aman,200312. Menurut peneliti sejarah, sistem tanam paksa adalah sebuah sistem yang revolusioner dan merupakan cikal bakal atas sebuah perubahan tradsi dalam masyarakat Jawa. Ada tiga hal penting yang merupakan dampak dari penerapan tanam paksa yakni, terjadi pembentukan modal, tenaga kerja yang murah, dan tumbuhnya ekonomi pada masyarakat pedesaan. Sebelum hal ini dibahas ada baiknya disajikan pertimbangan-pertimbangan para penulis sejarah dalam memandang sistem tanam paksa, agar para pembaca dapat memperoleh gambaran secara komperhensif . B. Penulisan Sejarah Sistem Tanam Paksa Penulisan sejarah ekonomi Indonesia abad ke-19, pada dasarnya bisa dipisahkan dari sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh penguasa kolonial Belanda sebagai sebuah kebijakan konservatif-kolonialis dalam rangka meningkatkan eksploitasi di tanah koloni Belanda. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian literatur yang ada, ditemukan gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan tanam paksa di Indonesia, terutama penerapan tanam paksa di Pulau Jawa. Jika mempelajari secara detil dan mendalam mengenai pelaksanaan tanam paksa di Jawa dengan luar Jawa, maka dengan sangat mudah ditemukan perbedaan mendasar terutama yang berhubungan dengan proses pemiskinan masyarakat pribumi Zulkarnain,200219. Dampak penerapan kebijakan sistem tanam paksa di luar Jawa terhadap penduduk tidak terasa berat, karena rata-rata penduduk memiliki lahan pertanian yang cukup luas, dan lahan-lahan produktif milik penduduk tidak dijadikan obyek pelaksanaan tanam paksa. Sementara lahan yang digunakan untuk budidaya tanam, kebanyakan merupakan lahan tidur yang tidak tergarap. Sementara penggunaan lahan dalam sistem tanam paksa di pulau Jawa, budidaya tanaman tidak hanya dilakukan di lahan-lahan tidur, melainkan di lahan-lahan milik Dampak Tanam Paksa petani yang sedianya digunakan untuk tanaman produktif seperti tanaman padi, palawija, tebu, dan sejenisnya. Penelitian-penelitian pada abad ke-19 tentang sejarah sosial ekonomi di Indonesia, menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem Tanam Paksa di daerah-daerah memperlihatkan dampak atau akibat yang berbeda-beda. Di Pulau Jawa, pelaksanaan sistem tersebut telah mendorong kembali suatu pertumbuhan ekspor yang signifikan, di mana Jawa terlibat praktis dalam perdagangan internasional. Dengan keterlibatan tersebut, eksistensi Jawa menjadi semakin penting dan perannya mulai diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda, berperannya Jawa dalam lintas makro, bukan berarti meningkatkan kesejahteraan signifikan masyarakat petani Jawa. Meskipun lalu lintas uang menyentuh desa-desa di Jawa yang berdampak terhadap perubahan sistem subsistensi menjadi sistem ekonomi baru, namun secara komprehensif masyarakat pertanian Jawa tetap miskin. Sementara itu pelaksanaan sistem Tanam Paksa di luar Jawa, seperti halnya di Sumatera Barat, telah melahirkan stagnasi ekonomi dan politik dalam masyarakat. Perubahan sosial dan ekonomi pada abad ke-19 di Pulau Jawa, sebagai daerah utama pelaksanaan sistem Tanam Paksa, menurut kajian antropologi yang digarap oleh Clifford Geertz dengan judul Agricultural Involution The Process of Ecological Change in Indonesia tahun 1963. Geertz menegaskan bahwa eksploitasi kolonial melalui sistem Tanam Paksa di Jawa telah melahirkan apa yang disebut âinvolusi pertanianâ, yang pada gilirannya menciptakan kemiskinan petani di tanah Jawa secara signifikan. Sistem budidaya tanaman ekspor pemerintah kolonial menurut Geertz, membawa dampak perubahan sosial dan ekonomi yang sangat mencolok Geertz, dalam Suyatno Kartodirdjo, 2003 ix. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam kajian mendalam tentang âPemberontakan Petani Banten 1888â, pemberontakan para petani, merupakan salah satu contoh akibat gangguan praktik ekonomi kolonial. Kemudian gerakan-gerakan yang berupa resistensi petani Jawa pada abad ke-19 mau tidak mau, suka tidak suka harus dikembalikan pada praktik kolonial dengan penerapan sistem Tanam Paksa yang menyertainya. Dalam kajian sejarah sosial ekonomi selanjutnya, resistensi petani Jawa sudah merupakan tradisi masyarakat Jawa terhadap diterapkannya politik ekonomi kolonial yang menyengsarakan. Hal tersebut sangat relevan dengan teori yang disampaikan oleh Selo Soemardjan bahwa dalam masyarakat yang tertindas, maka akan menimbulkan gejolak sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Apabila teori tersebut dikaji secara historis, maka resistensi dalam masyarakat Indonesia selalu muncul, mengingat tekanan dan penindasan dari penguasa yang terus berlanjut bahkan sampai sampai sekarang. INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. Setelah memahami kajian mengenai pelaksanaan sistem Tanam Paksa, maka gambaran yang diperoleh mengenai perekonomian Jawa bahwa sistem ekonomi modern atau sistem ekonomi uang dan komoditas ekspor, telah mengeksploitasi habis-habisan sistem ekonomi subsistensi yang menjadi basis perekonomian kaum petani. Eksploitasi ekonomi modern melalui penerapan Tanam Paksa merupakan eksploitasi yang bersifat brutal dan mengakibatkan para petani Jawa menderita kemiskinan dan kelaparan berkepanjangan. Teori involusi pertanian karya Clifford Geertz yang menjelaskan proses kemiskinan struktural di Jawa disebabkan oleh pertambahan penduduk Jawa, berkurangnya lahan pertanian, dan perluasan perkebunan Eropa menjadi penyebab utama kemiskinan di Jawa Clifford Geertz,1966 124. Bila peneliti sejarah ingin mengkaji proses penerapan tanam paksa secara obyektif, detil dan medalam ada baiknya para peneliti memotret dari tiga sudut pandang/tiga tahapan, yakni Tahap pertama, mulai sejak tahun-tahun 1850-an dan 1860-an/tahap akhir penrapan tanam paksa, dan berlanjut sampai permulaan dimulai 1920-an, tahapan kedua dari penulisan-penulisan mengenai Tanam Paksa terhitung dari tahun 1920-an sampai akhir kekuasaan kolonial Belanda, dan penulisan tahap ketiga dimulai sesudah kemerdekaan Indonesia dan masih berlanjut sampai sekarang. C. Cultur Stelsel Kaitannya Dengan Kehidupan Masyarakat Hampir semua peneliti mutakhir menyimpulkan bahwa sistem tanam paksa tidak bermoral, tidak humanis, dan sama sekali tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Sehubungan dengan permasalahan tersebut perlu dibedakan antara sistem itu sendiri yang dianggap tidak dapat dibenarkan, dengan dampak penerapan tanam paksa secara konkret bagi masyarakat. Para peneliti belum menemukan kata sepakat mengenai kedua variabel tersebut. Pada satu pihak ada yang berpendapat bahwa sistem ini bermanfaat karena ekonomi uang telah masuk ke desa desa, yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian pada masyarakat pedesaan. Sementara penelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC bukan pada masa tanam paksa. Dalam kaitannya dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan, Prof. Van Niel dari Universitas Hawaii mengemukakan penyertaan modal dalam cultuur stelsel pada awalnya bukan berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga Barat, karena Belanda pada saat itu sedang dalam keadaan bangkrut sehingga memerlukan sistem tersebut untuk mendatangkan uang dengan cepat. Sementara permodalan yang digunakan untuk pabrik-pabrik gula yang dikelola pihak swasta datangnya justru dari berbagai pihak di Jawa sendiri, seperti Dampak Tanam Paksa halnya para pensiunan pegawai negeri, perusahaan ekspor-impor, dan sudah barang tentu para saudagar Cina yang telah lebih dulu memiliki modal yang cukup Vani Niel, 1988. Jika teori tersebut benar, dapat disimpulkan bahwa moneterisasi memang telah berlangsung jauh sebelum cultuur stelsel diterapkan. Ini berarti bahwa terhadap ekonomi uang masyarakat pedesaan, sistem tanam paksa tidak begitu banyak berdampak. Sementara itu Fernando dan OâMalley melalui penelitiannya tentang perkebunan kopi di Cirebon menunjukkan adanya segi-segi positif dari penerapan cultuur stelsel bagi masyarakat Jawa. Dengan meramu pendapat sejumlah sarjana yang pernah meneliti masalah cultuur stelsel seperti Van Niel, Lison dan Fernando, kedua sejarawan tersebut mengungkapkan bahwa â... bukti sejarah sudah mulai memperlihatkan bahwa pertumbuhan pertanian komersial sesudah tahun 1830, pada masa ini ekonomi pedesaan memiliki efek rangsangan dengan pola komersialisasi yang mengarah pada peningkatan taraf kehidupan bagi mayoritas penduduk pedesaan, paling tidak selama dasawarsa pertengahan abad ke-19â Booth, 1988 236. Fernando juga mengemukakan bahwa dampak cultuur stelsel adalah âcara hidup keluarga subsistensi secara berangsur-angsur mengalami perubahan ke arah matrialistik yang komersil. Dengan sistem tersebut penduduk pedesaan semakin terbiasa untuk membeli berbagai macam kebutuhan rumah tangga dengan menggunakan uang. Dampak ekonomi dari kebiasaan konsumen dari penduduk pedesaan itu tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi non-agraris Fernando, 1991 3. Tesis Fernando tersebut dibenarkan juga oleh Sugiyanto Padmo dari Uuniversitas Gadjah Mada melalui penelitian historisnya. Secara lebih terperinci Fernando juga menjelaskan dalam sebuah tabel yang menunjukkan diversifikasi pekerjaan masyarakat baik agricultuur maupun non-agricultuur. Tabel 1. Komposisi Tenaga Kerja Di Jawa Tahun 1880 Fernando, 1993. Di samping apa yang dikemukakan Fernando, Elson juga secara khusus meneliti masalah-masalah kemiskinan dengan mengajukan pertanyaan bahwa apakah cultuur stelsel menimbulkan kemiskinan atau tidak bagi INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. masyarakat. Elson juga mengakui bahwa masalah tersebut sangat sulit untuk ditetapkan karena keterbatasan sumber sejarah, terutama mengenai data statistik yang kadang membingungkan. Namun ia sampai pada tesis bahwa tidak dapat dikatakan apakah cultuur stelsel menimbulkan kemiskinan pada masyarakat Jawa atau justru sebaliknya mendatangkan kemakmuran. Akhirnya Elson hanya dapat mengemukakan bahwa âsistem itu langsung atau tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan masyarakat tani, yang sebelumnya pilihan hidupnya sangat terbatasâ Elson, 1988. D. Pembentukan Modal sebagai dampak Sistem Tanam Paksa Sebelum Sistem tanam paksa diperkenalkan pada tahun 1830, orang-orang Eropa telah melakukan langkah simpatik dengan cara meninggalkan sistem penyerahan hasil bumi dan pengeluaran ongkos secara paksa yang merupakan ciri khas dari operasi VOC. Adapun para produsen potensial dari komuditi-komuditi pertanian yang dapat di ekspor, pada tahun-tahun 1830 adalah sebagai berikut. 1. Para penduduk desa di pulau Jawa yang menguasai tanah-tanah yang dibebani pajak sewa tanah. 2. Para pengusaha perkebunan swasta, terutama orang-orang Eropa yang memakai tanah yang âtak berharga atau berlebihâ, dengan membayar sewa kepada pemerintah. 3. Para pengusaha perkebunan swasta, terutama orang-orang Eropa yang mengadakan kontrak dengan pangeran-pangeran Jawa untuk pemakaian hak tunjangan mereka di daerah-daerah kesultanan. 4. Para pemilik tanah partikelir, terutama orang-orang Eropa yang memiliki hak-hak tuan tanah atas tanah-tanah mereka berikut rakyat di atas tanah-tanah itu. Masing-masing produsen seperti tersebut di atas mengalami kesukaran dalam proses penambahan modal guna memperluas dan meningkatkan operasinya. Sementara lembaga permodalan atau para pengusaha dari orang orang Eropa sebagai satu-satunya jenis modal yang tersedia pada saat itu tidak tertarik menanamkan modal di pulau Jawa. Hal ini di karena mereka mempuyai pengalaman buruk dengan perusahaan-perusahaan perkebunan milik kolonial, yakni pernah mengalami resiko kerugiaannya cukup besar. Dari empat bentuk pengaturan produksi seperti telah dijelaskan di atas, hanya poin kedua yakni, para pengusaha perkebunan swasta yang mengerjakan tanah dan penyewa dari pemerintah dan peraturan-peraturan perburuhan. Aspek ini kelihatannya mempunyai potensi untuk menarik serta mendapatkan Dampak Tanam Paksa modal. Desa di Jawa sama sekali di luar jangkauan keterlibatan ekonomi dan tidak menunjukan budi daya untuk ekspor. Dibiarkan untuk berbuat sekehendaknya, desa memusatkan perhatianya pada mata pencahariannya sendiri, menghasilkan beras, kantum, nila, dan produk- produk yang lain untuk kehidupan sehari hari, lagi pula, karena prosedur resmi yang biasa dipakai di Barat mempunyai pengaruh kecil pada masalah pedesaan, maka tidak ada perlindungan bagi para penanam modal, pengalaman antara tahun 1815 dan 1830 telah memperlihatkan, di mana hasil budi daya untuk diekspor -seperti perkebunan kopi diserakkan pada pengawasan desa, penanaman-penanaman itu diabaikan atau dibiarkan saja produk-produk untuk ekspor, seperti yang diperoleh selama masa ini, berasal dari para pengusaha perkebunan swasta yang menyewa tanah dari tanah bengkok, atau dari daerah-daerah di mana pelaksanaan serah paksa tetap berlaku Van Niel, 1981. Sistem Tanam Paksa mempunyai tujuan utama untuk merangsang produksi dan ekspor dari komoditi-komoditi pertanian yang dapat dijual di pasaran dunia. Pemerintah menyadari sejak semula bahwa setiap pengolahan yang diperlukan oleh produk-produk ini, mungkin harus dikembangkan dengan pemasukan-pemasukan modal yang diusahakan oleh pemerintah sendiri untuk melengkapinya. Pemerintah meminjamkan uang kepada orang-orang yang mengadakan perjanjian untuk mendirikan pabrik/penggilingan untuk pengolahan produk-produk pertanian yang disediakan oleh para penduduk desa. Peraturan-peraturan kontrak semacam itu dilaksanakan untuk berbagi hasil panen, tetapi hanya di bidang pembuatan gula, peraturan-peraturan itu menjadi faktor yang banyak artinya dalam usaha menghasilkan pertambahan modal. Para kontraktor pemerintah bukan saja menerima modal yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas-fasilitasnya, tetapi juga mendapat bantuan pemerintah untuk memperoleh batang tebu mentah raw cane dan tenaga kerja yang diperlukan. Kontraktor berkewajiban menjual gula yang telah diolah itu kepada pemerintah untuk membayar kembali pinjamannya, tetapi kelebihan jumlah gula yang diperlukan untuk pembayaran kembali pinjaman itu tadi, boleh dijual tersendiri oleh kontraktor demi keuntungannya sendiri. Di sini terdapat peluang untuk menghasilkan uang, dalam jangka waktu beberapa tahun, nilai penjualan-kembali kontrak-kontrak gula ini meningkat pesat. Sistem Tanam Paksaâmelalui suntikan modal dari pemerintah dan melalui penanaman produk yang berorientasi ekspor berimplikasi positip yakni mulai munculnya kepercayaan dari para petani bahwa mereka dapat berkembang, bekerja lebih efesien dan memperoleh keuntungan cukup besar seandainya pemerintah tidak ikut dalam sistem tanam paksa. Kepercayaan diri para petani inilah yang mendorong semangat para petani untuk berjuang dalam INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. menigkat tarap hidup yang lebih baik sekaligus sebagai awal mula munculnya pengusaha pengusaha lokal di wilayah pedesaan dan mereka sudah mulai memahami paham tentang menejmen permodalan dalam dunia perdagangan serta mulai berani melepaskan diri dari cengkeraman pemerintahan tradisional mulai dari pemimpin desa sampai ke pemimpin diatasnya secara hirarkis. E. Tenaga Buruh Murah dalam Sistem Tanam Paksa Dalam budi daya tanam yang berorientasi ekspor, keberadaan buruh dengan upah murah merupakan kebutuhan utama dalam sistem tanam paksa. Pengawasan terhadap tenaga buruh pada abad ke-19 merupakan suatu hal yang penting ketimbang pengawasan terhadap tanah. Sistem Tanam Paksa mempekerjakan tenaga buruh dengan menerapkan pola tradisional Jawa yang dapat mengkondisikan tetap eksistensinya keberadaan buruh terutama buruh di pulau Jawa. Hal demikian dimaksudkan agar para petani menyerahkan sebagian hasil perkebunannya kepada pejabat yang lebih tinggi di lingkungannya secara hirarkis seperti yang telah ditentukan oleh penguasa Hindia Belanda Naessen, 1977. Untuk pekerjaan ini para buruh tidak dibayar, karena pekerjaan tersebut dipandang sebagai suatu pola tata hubungan sosial yang hierarkis sekaligus bentuk penghormatan rakyat terhadap penguasa. Sebelum diterapkan sistem Tanam Paksa pada awal abad ke-19, pajak atas sewa tanah yang dikenal sebagai sewa tanah, telah berlangsung dalam masyarakat sebagai pengganti penyerahan hasil perkebunan. Untuk memungut pajak, maka desa merupakan unit yang ditunjuk untuk mengorganisasikannya, di samping sebagai unit penyedia serta penyalur pelayanan tenaga kerja paksa yang tanpa pembayaran. Perubahan-perubahan demikian ditinjau dari sudut pandang sosial, ekonomi, maupun politis, menimbulkan kesenjangan dan perpecahan dalam masyarakat Jawa karena mereka mengagap ada diskriminasi perlakuaan sehingga muncul keinginan untuk melakukan protes dan perlawanan. Sebagaimana VOC sebelumnya, pemerintah kolonial di Hindia Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja Jawa dan menuntut hak istimewa sebagaimana yang diberikan kepada para pejabat bangsa Jawa yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam hak-hak ini termasuk hak atas pelayanan para buruh, seperti yang sebelumnya terjadi untuk membangun sarana dan prasarana seperti pembangunan jalan-jalan, benteng, saluran irigasi, dan sarana-sarana umum dimana pemerintah membayarnya dengan upah yang sangat murah. Kerja paksa yang ditujukan untuk para kepala desa dan juga atasan-atasan dari bangsa Jawa juga meningkat drastis, kendatipun pemerintah berwenang mengawasi apakah terjadi penyalahgunaan wewenang di luar yang ditentukan oleh pemerintah. Harus diakui bahwa peran dan keberadaan kepala desa sangat penting dalam rangka menyalurkan tenaga buruh yang tersedia Dampak Tanam Paksa untuk memungut pajak, sehingga pemerintah tidak dapat berbuat banyak tanpa mereka. Dengan demikian pola-pola tradisional harus tetap dipertahankan agar mendapatkan dukungan dari para kepala desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Para petani Jawa bekerja di bawah pemerintah kepala desa, dengan menganggap bahwa pekerjaan itu sebagai persembahan tradisionalnya kepada pejabat-pejabat yang lebih tinggi. Bahkan pengusaha-pengusaha perkebunan swasta yang mendapatkan tenaga buruh yang diberi upah, harus mengembalikan nilai kerja rodi buruh tersebut. Ada pula yang mendapatkan buruh dengan membayar pajak sebuah desa sehingga mendapatkan hak sebagai tuan besar untuk pelayanan buruh. Setelah tahun 1830 pemerintah sudah mulai mengenalkan sistem kontrak kerja terhadap petani dengan pemberian upah yang tidak begitu tinggi. Walaupun sistem upah sudah mulai diterapkan tapi para petani atau kaum buruh masih terikat dengan hubungan kekerabatan tradisional Jawa yakni masih tetap memenuhi kewajibannya selaku anggota masyarakat pada perintah desa. Hal ini dikarenakan para petani Jawa belum terbiasa dengan sistem upah, sehingga kegiatan kerja yang mendapat imbalan upah tetap tidak membawa perubahan berarti bagi penigkatan tarap hidup ke arah yang lebih baik. Fenomena ini diakibatkan penduduk sudah terbiasa dengan pola hidup subsistensi yang hanya memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Di luar itu mereka tetap memandang bahwa bekerja tetap terbatas pada pelayanan wajib kepada penguasa, yang lebih tinggi dan harus dipenuhinya. Dalam perkembangannya, meningkatnya kebutuhan tenaga buruh, juga diiringi dengan meningkatnya praktek-praktek pemaksaan yang dilakukan oleh para pejabat yang terikat pada pelayanan pemerintah. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan juga tekanan atas tanah-tanah di daerah penanaman pemerintah, maka uang ekstra dari upah makin lama makin penting artinya bagi ketahanan hidup para petani yang lebih miskin. Para penulis tahap pertama banyak memanfaatkan kenyataan, bahwa para penguasa perkebunan dan kontraktor sejak dasawarsa tahun 1840-an ke atas mengatakan bahwa buruh upah bekerja lebih baik dan efisien ketimbang buruh-buruh paksa. Hal ini dapat diterima mengingat tanggung jawabnya sebagai buruh harus tetap dijaga agar tetap dipercaya sebagai buruh yang dibayar. Sementara bagi mereka buruh yang tidak dibayar, maka tidak ada ikatan formal, sehingga tidak mengutakan pelayanan kerja yang baik. Namun demikian, pada tahun 1850-an, usaha-usaha untuk memasukkan buruh tani ke dalam daerah yang biasanya dikerjakan oleh buruh rodi, harus ditinggalkan, karena tidak ada kaum buruh yang bersedia bekerja dengan tingkat upah yang dijanjikan oleh pemerintah. Sebagian besar petani Jawa tidak belajar menghargai pekerjaan sebagai alat untuk mencapai tujuan, melainkan INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. tetap memandang pekerjaan mereka sebagai beban yang harus dipikul dan menjadi derita kesehariannya. Penambahan jumlah kerja paksa yang sangat memberatkan di seluruh daerah penduduk yang lebih luas, mungkin membuka mata para petani, mengenai teknik dan cara-cara bekerja di suatu perkebunan. Pada tahun 1860-an dan 1870-an, para pengusaha perkebunan swasta mulai mengadakan perjanjian perburuhan dan perjanjian tanah dengan perorangan dan desa-desa, sangat nyata bahwa sistem Tanam Paksa tidak berkontribusi banyak untuk mempersiapkan cara bagi pembentukan pasaran buruh yang bebas dan sukarela. Namun sebaliknya, sistem Tanam Paksa telah menyebabkan penilaian yang negatif bagi pekerjaan karena memberikan kompensasi atau ganti rugi serendah mungkin. Dengan meneruskan penggunaan pola-pola kekuasaan tradisional sistem Tanam Paksa juga menciptakan kebutuhan akan penghasilan tambahan di daerah-daerah di mana penanaman ekspor dapat berkembang. Bagi para pengusaha perkebunan swasta, kondisi tersebut dapat menimbulkan keuntungan maupun kerugian. Keuntungan terletak pada kenyataan akan rendahnya tingkat upah yang sedang berlaku, dan dengan demikian mereka dapat terus bersaing di pasaran dunia. Sementara itu kerugiannya, yang sementara itu lebih besar ketimbang keuntungannya, muncul karena adanya masalah-masalah dalam rangka menarik dan menahan tenaga kerja. Para pencari tenaga kerja diberikan pada otoritas tradisional, yakni para kepala desa dan tokoh-tokoh pesgusaha lainnya, mereka memberi uang muka terlebih dahulu untuk menarik tenaga kerja, namun demikian masalah yang muncul adalah buruh seringkali tidak masuk kerja sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja. Dengan demikian, berbagai tekanan terhadap buruh yang dianggap lalai mereka gunakan. Sementara pengadilan resmi berlangsung lambat dan tidak memadai, lebih efektif memanpaatkan orang-orang kuat untuk memaksa para pekerja. Bahkan kadang-kadang para pengusaha perkebunan dapat membujuk para pejabat administrasi untuk membantu dan memaksa. Menjelang tahun 1880-an, tekanan pertumbuhan penduduk menjadi jelas dengan berkurangnya lahan garapan yang tersedia, dan semakin terbatasnya kemampuan desa untuk menyiapkan kebutuhan pokok mereka, sehingga banyak orang yang harus mencari tambahan penghidupan di luar desa mereka. Pada saat yang sama berjangkitlah hama tebu dan kopi yang mengakibatkan penurunan drastis hasil tanaman ekspor. Padahal penduduk sudah mulai menggantungkan hidupnya di perkebunan-perkebunan tersebut, sehingga dengan berkurangnya produksi kopi dan gula, maka upah yang diterimakan kepada penduduk juga semakin berkurang. Hal itu masih ditambah dengan munculnya gula bit dari Eropa yang berperan dalam menurunkan harga gula di pasaran dunia internasional menurun. Dampaknya para pengusaha perkebunan menurunkan tingkat upah bagi para buruh, dan mengurangi pula Dampak Tanam Paksa jumlah uang untuk penyewaan tanah. Faktor-faktor yang kompleks tersebut mengakibatkan penurunan jumlah uang yang tersedia bagi masyarakat Jawa, yang berdampak pada harusnya kesediaan yang lebih besar dari masyarakat, untuk menerima upah buruh dengan harga dan syarat-syarat yang sebelumnya tidak dapat mereka terima Elson, 1982. Penelitian-penelitian yang muncul selama ini khususnya tentang kesejahteraan masyarakat pedesaan Jawa cenderung mendukung gagasan bahwa, di Jawa selama penerapan sistem Tanam Paksa berlangsung terdapat lebih banyak kekayaan materi ketimbang dengan tahun-tahun sesudah pembubarannya. Pengerahan tenaga kerja berdasarkan corvee tradisional Jawa pada umumnya didasarkan pada hak-hak kepemilikan tanah. Kerja menurut pengaturan semacam itu, dihitung berdasarkan suatu sistem yang dikenal dengan cacah rumah tangga, kepala rumah tangga yang mempunyai hak-hak atas tanah juga diwajibkan melaksanakan corvee tidak menjadi masalah, apakah pekerjaan tersebut dikerjakan sendiri atau menyuruh seorang anggota keluarga untuk melaksanakannya. Sistem cacah masih berlaku pada 1830, dan lambat laun sistem cacah dihapus oleh Van den Bosch karena setelah tahun 1838 tidak ada lagi rujukan dengan sistem tersebut. Alasannya cukup jelas, di mana untuk pengadaan tenaga kerja sebanyak-banyaknya maka perlu diterapkan pelayan kerja berdasarkan perorangan, bukan atas dasar rumah tangga. Dampaknya, banyak orang yang terlibat dalam pelayanan tanamm paksa tidak lagi mempunyai hak atas tanah. Banyak desa merasa perlu melakukan penyesuaian dengan menyerahkan hak penggunaan sebidang tanah kepada beberapa orang sehingga tenaga mereka dapat diikutsertakan dalam pengaturan kerja yang dibutuhkan oleh sistem Tanam Paksa. F. Perubahan Ekonomi Pedesaan Pelaksanaan sistem Tanam Paksa dalam prakteknya mengikuti pola tradisional yang berlaku dalam masyarakat Jawa, sehingga dapat menggerakan para petani di daerah-daerah tertentu agar mau bekerja dalam menghasilkan tanaman untuk ekspor. Harapan pemerintah adalah dengan menggunakan otoritas kepala desa, dapat menggerakan penduduk untuk mau menyerahkan sebagian tanah untuk kepentingan tanam paksa, dan juga mau bekerja untuk tanaman ekspor. Sikap ini juga dimaksudkan untuk mengkondisikan agar masyarakat Jawa tetap statis. Kenyataannya hal tersebut tidak terjadi karena dampak ekonomi sistem tersebut justru telah menggerakan perubahan-perubahan dan mempercepat kecenderungan-kecenderungan yang sudah ada. Pola-pola tradisional kalangan atas di tingkat desa sudah kocar-kacir pada permulaan abad ke-19 sehingga sistem Tanam Paksa hanya dapat menggunakan pola-pola itu dengan cara-cara INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. yang tidak rasional dan alamiah. Tokoh-tokoh penguasa mengalami tekanan-tekanan yang semakin berat karena tuntutan-tuntutan sistem tersebut terhadap mereka. Sistem Tanam Paksa dianggap telah mengubah hak-hak pemilikan tanah dari milik perseorangan menjadi milik bersama, yang tentunya telah merusak hak-hak perseorangan atas tanah yang sebelumnya sudah ada. Hak-hak pemilikan tanah merupakan kepentingan subjektif bagi kelompok-kelompok pengusaha swasta yang hendak mengganti sistem tersebut dengan bentuk eksploitasi mereka sendiri. Sementara Furnival dan Burger merupakan penulis yang fanatik mendukung kecenderungan tersebut, pembentangan paling jernih dari argumen ini dalam bahasa Ingris didapati pada penelitian Clifford Geertz mengenai involusi pertanian Geertz, 1963. Dengan memintakan perhatian terhadap bukti-bukti dan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu, dalam menjelaskan perkembangan-perkembangan semenjak diperkenalkanya sistem Tanam Paksa, mereka mendapati bahwa telah terjadi homogenisasi sosial di desa-desa Jawa yang mengakibatkan âkemiskinan bersamaâ. Jauh sebelum sistem Tanam Paksa dilaksanakan, kaum tani Jawa telah menyesuaikan diri secara pleksibel pada kebutuhan-kebutuhan setempat, tempat di mana mereka berada. Sifat-sifat seperti bersedia bekerja keras, kemampuan perorangan, dan penyesuaian kepada perubahan, serupa dengan apa yang telah dikemukakan oleh Selo Soemardjan pada tahun-tahun 1960-an Selo Soemardjan, 1968. Para pengusaha di atas tingkat desa mengetahui semuanya itu, lalu mengolahnya secara terinci dengan para kepala cacah mereka, yang oleh Hoadley, yang meneliti wilayah Cirebon dan Priangan, dipandang sebagai abdi-abdi para penguasa yang lebih tinggi. Penyesuaian demikian memungkinkan para kepala di atas tingkat desa memenuhi kebutuhan pemerintah akan hasil-hasil pertanian dan tenaga buruh, sambil juga memenuhi kebutuhan mereka sendiri yang meningkat akan tenaga buruh, serta akan lahan penanaman yang lebih luas. Di bawah pengarahan mereka, pemakaian lahan yang tersedia dapat diatur dan penyesuaian-penyesuaian dapat diadakan. Hak-hak milik atau hak-hak pengawasan atas lahan berada di tangan para kepala cacah dan golongan elite lokal lainnya. Berdasarkan kenyataan sistem agraris ini, maka sistem Tanam Paksa diperkenalkan pada tahun 1830. Tujuannya adalah untuk mendapatkan komoditi-komoditi yang dapat dijual di pasaran dunia, dan untuk tujuan tersebut sistem Tanam Paksa memakai lahan dan tenaga kerja dari orang-orang desa di Jawa yang dibujuk atau dipaksa oleh para kepala di atas tingkat desa. Hal tersebut harus dilakukan dalam batas-batas sistem Sewa Tanah Van Niel, 1964. Dampak Tanam Paksa Akhir-akhir ini penelitian sejarah mengetengahkan informasi mengenai apa yang terjadi di desa-desa sesudah tahun 1830, ketika pemerintah mulai menyusun pola-pola produksi baru, informasi tersebut memberikan interpretasi yang berbeda atas kejadian-kejadian, berbeda dengan apa yang telah dikemukakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Bukti-bukti fisik dari Cirebon, Pekalongan, Jepara, dan Pasuruan, semua daerah dimana penanaman untuk pemerintah telah diperkenalkan, dan memperlihatkan bahwa kepemimpinan desa telah berhasil menarik keuntungan dari kebutuhan-kebutuhan pemerintah itu dan memperkuat kekuasannya dan melakukan pendekatan pribadi di lingkungan struktur pedesaannya Elson, 1979. Dengan menggunakan hak-hak tanah mereka, baik secara perorangan maupun kolektif resmi, dan terutama dengan menyalahgunakan tenaga kerja paksa yang berada di bawah pengawasan mereka, memungkinkan bagi mereka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ke dalam. Dengan cara demikian, mereka mendapatkan keuntungan berlipat ganda, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemerintah di satu pihak, dan menjadikan dirinya makmur dari hasil pembayaran yang masuk ke desa di lain pihak. Kewenangan pendistribu-siannya sangat tergantung dari kehendak para pemimpin tradisional. Dalam prakteknya, tidak semua desa mengadakan reaksi yang sama, tidak semua peraturan penanaman sama, dan tidak semua perubahan itu terjadi pada waktu yang bersamaan Fernando, 1982. Jika diamati secara mendalam, maka penelitian-penelitian yang baru memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih dapat dipahami, ketimbang terhadap pandangan-pandangan lama tentang pengaturan-pengaturan rumah tangga desa di Jawa sekarang. Dengan menggunakan istilah yang lebih sederhana, maka desa-desa di Jawa masa kini menunjukkan perbedaan sosial yang tegas serta riil antara penduduk desa yang kaya dengan penduduk desa yang miskin. Mereka pada umumnya tidak memperlihatkan pemerataan tingkat sosial maupun homogenitas sosial, yang disangka telah disebabkan oleh penerapan sistem Tanam Paksa, berdasarkan tulisan-tulisan sejarah sosial sebelumnya. Di samping itu, desa-desa masa kini juga menunjukkan suatu kohesi yang kuat, sesuatu yang biasanya tidak akan dilukiskan sebagai suatu pengaruh disintegrasi yang terasa kemudian. Bagi pengamat Barat terutama pada akhir abad ke-19, penguasaan bersama yang semakin meningkat dari pemilikan lahan itu secara sosial merusak ketertiban desa. Kondisi tersebut menimbulkan kesukaran bagi pengaturan kontrak-kontrak perorangan untuk menyewa tanah atau lahan. Sementara pengaturan penguasaan bersama seringkali tidak meliputi hak penuh atas lahan tersebut, hanya terbatas pada penggunaannya dan juga sama atas hasilnya. Para pemimpin desa, yang hampir tidak pernah secara langsung menggarap lahan, dapat mempertahankan pengawasan sepenuhnya atas sebagian besar lahan-lahan pedesaan tersebut. Pengaturan-pengaturan kontrak INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. dalam berbagai bentuk yang luas, tersedia bagi mereka dalam mempertahankan apa yang telah mereka miliki, sementara membiarkan orang lain menjalankan pekerjaan di ladang atau di mana saja. Para petani kecil yang mandiri, yang bukan merupakan bagian dari lingkaran dalam desa itu atau yang telah melawan kemauan para pemimpin desa, barangkali telah mengakibatkan hidup mereka tersiksa. Secara ekonomis, orang-orang demikian telah mengalami kerugian bahkan dapat dilakukan pemaksaan untuk meninggalkan lahan dan desa mereka. Sedangkan rumah tangga-rumah tangga dan tenaga kerja yang tidak pernah memiliki tanah, tidak begitu terpengaruh oleh otoritas kepala desa, karena mereka di mana pun selalu bekerja untuk orang lain. Oleh sebab itu penguasaan-penguasaan bersama tersebut tampak seolah-olah menghilangkan perbedaan-perbedaan sosial di desa, meskipun sebenarnya tidaklah demikian. Begitu juga keadaan tersebut tidak menimbulkan kesulitan yang berarti bagi para pengusaha perkebunan swasta yang ingin menyewa lahan-lahan pedesaan. Dalam hal ini, sekali lagi biasanya kepala desa menguasai keadaan dan sesuatu persetujuan selalu dapat dicapai. Dalam struktur golongan sosial dan ekonomi desa ini, peralihan tidak secara keseluruhan mengubah ikatan yang menyatukan desa sebagai suatu kesatuan sosial dan sebagai suatu unit yang produktif. Meskipun para penduduk desa memahami perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi, desa juga tetap merupakan pusat sistem penghidupan bagi sebagian besar penduduk. Benar, orang-orang berpindah ke kota dan mendapat pekerjaan bukan jenis pertanian, sedangkan yang lain-lain menggabungkan diri dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ekspor. Tetapi sebagian besar orang Jawa, tinggal di desanya. Bahkan sebagian dari mereka yang tampaknya sama sekali terpisah, memelihara ikatan dengan desanya dalam berbagai cara. Pengaturan yang sedikit banyaknya bersifat ganda ini, ternyata merupakan salah satu batu-batu fondasi dari cara pengaturan tenaga buruh murah yang menguntungkan bagi sektor ekspor dari perekonomian. Perangkat desa mengumpulkan dan mengelola penyediaan tenaga buruh murah ini, harus mempertahankan ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan tradisional agar dapat memenuhi fungsi yang tidak dihapuskan ini dengan cara mengubah buruh-paksa menjadi buruh yang diberi upah, sebab tingkat upah yang rendah tergantung pada simbiose yang berkesinambungan antara ekspor swasta dengan ekonomi pedesaan. Dalam konteks inilah para pemimpin desa harus membangun dan memperluas kekuasaan mereka. Kenyataan-kenyataan itu tidak menyebabkan mereka menjadi petani mandiri yang berorientasi pada pasar, walaupun dalam bidang ini mereka memang melakukan fungsi-fungsi sebagai perantara. Mereka tidak dapat mengabaikan hubungan-hubungan sosial desa, karena desalah satu-satunya yang merupakan tumpuan mereka sebagai Dampak Tanam Paksa basis kelembagaan yang tunggal untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang berkesinambungan. Dalam kaitan suatu sistem ekonomi padat karya para pemimpin desa berusaha keras dalam mempertahankan ikatan-ikatan tradisional dan kewajiban-kewajiban sosial. Karena dengan dipertahankannya sistem sosial tradisional, maka para pemimpin desa akan mudah memperoleh tenaga kerja baik untuk kepentingannya sendiri, maupun untuk pengabdian atau melayani pemerintah kolonial. Akhirnya yang menjadi objek pemerasan adalah penduduk, yakni disamping harus memenuhi tuntutan pemerintah kolonial, di sisi lain mereka dituntut untuk tunduk pada para kepala desa sebagai pemimpin tradisional mereka. Tidak heran apabila ketika terjadi resistensi yang dilakukan oleh masyarakat yang merasa tertindas, maka yang paling pertama menjadi sasaran adalah para pemimpin tradisional. Fenomena ini dapat difahami mengingat merekalah para pemimpin tradisional yang dirasa secara langsung melakukan politik eksploitasi terhadap rakyat, baik berkenaan dengan masalah tanah, maupun yang berhubungan dengan tenaga kerja. G. Penutup Dalam pembangunan ekonomi dewasa ini, tampaknya perlu menimba pengalaman-pengalaman masa lampau, misalnya, bagaimana sistem ekonomi modern mempunyai dampak baik positif maupun negatif terhadap sistem ekonomi subsistensi. Sumbangan pemikiran sejarah dalam kajian ekonomi Indonesia abad ke-19 dapat memberikan sebagian jawaban untuk kepentingan yang berarti pada masa sekarang. Demikianlah, sejarah akan menemukan kegunaannya melalui tiga dimensi waktu yakni masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Konsepsi ini sangat relevan dengan terminologi Allan Nevin yang menegaskan bahwa sejarah adalah jembatan penghubung antara masa lampau, masa sekarang, dan sebagai petunjuk arah ke masa depan. Sejarah dalam bentuknya yang seperti apa pun juga, hendaknya janganlah dianggap hanya sebagai kenangan masa lalu yang tiada guna, melainkan menjadikannya suatu peristiwa bermakna bagi kehidupan riil umat manusia. Tidak salah lagi bahwa sistem Tanam Paksa yang diterapkan di Hindia Belanda telah mendatangkan perubahan sosial masyarakat baik secara makro maupun mikro. Sistem Tanam Paksa merupakan penghisapan dan pemerasan secara brutal yang dikelola oleh orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan, yang nilai-nilainya dibentuk oleh latar belakang kebudayaan masing-masing. Sistem Tanam Paksa menjalankan suatu tipu muslihat pada lingkungan sosio-ekonomi secara lebih canggih dan rumit. Dalam membahas sistem Tanam paksa, akan lebih komprehensif apabila dikaji tidak secara tradisional, agar berbagai aspek yang menyertai dilaksanakannya sistem dapat teungkap. Karena jika tidak, maka gambaran utuh dari sistem ini tidak akan INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. ditemukan. Namun demikian secara riil adalah tidak dapat diabaikan bahwa pelaksanaan sistem Tanam Paksa menyebabkan adanya pembentukan modal, adanya tenaga murah dan terjadinya perubahan ekonomidi tingkat pedesaan. Daftar Pustaka Anne Booth, William Anna Weidemann ed, 1988. Sejarah Ekonomis Indonesia. Jakarta LP3ES. Ardiansyah, Syamsul. Cultuur Procenteen. Hutagalung, Batig Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan Opium oleh Pemerintah India-Belanda. Robert Van Niel, 1992. Java Under the Cultivation System Collected Writings. Leiden KITLV Press. Elson, 1978. The Cultivation System and Agricultural Involutionâ. Melbourne Monash University. C. Fasseur, 1975. Kultuurstelsel en Koloniale Baten De Nederlandse Exploitatie Van Java 1840-1860. Leiden University Press. Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Biodata Penulis Zulkarnain. Lahir di Sumbawa Besar, 9 Agustus 1974. Menamatkan Pendidikan S2 Pendidikan Sejarah Univ. Jakarta. Saat ini sebagai tenaga pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri Yogyakarta dan mengampu mata kuliah Sejarah Ketatanegaraan. Ammar MuhammadKabupaten Tegal merupakan daerah yang diwajibkan ditanami tanaman tebu karena memiliki dukungan alam yang subur. Pada tahun 1832 didirikanlah Pabrik Gula Pangkah yang menjadi pabrik gula pertama di Kabupaten Tegal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui mengapa Pabrik Gula Pangkah berdiri dan perkembangan Pabrik Gula Pangkah tahun 1832-1870 serta dampak sosial ekonominya terhadap masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah kritis yang terdiri dari; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Kabupaten Tegal merupakan wilayah yang memiliki kondisi geografis yang subur dan memiliki jumlah penduduk yang besar. Pada perkembangannya dari tahun ke tahun mengalami kenaikan jumlah produksi gula yang signifikan, karena didukung oleh kondisi perkebunan, tenaga kerja, dan infrastruktur yang cukup baik. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan yaitu meningkatnya jumlah penduduk di Distrik Pangkah dan pergeseran kepemilikan tanah petani, serta terserapnya tenaga kerja di sektor perkebunan dan pabrik Kunci Pabrik Gula Pangkah, Sosial Ekonomi, Kabupaten Tegal Johannes "Hans" Iemke BakkerCees FasseurThis is a book review of an excellent book by Professor Cees Fasseur of Leiden University. He has done path breaking work on the cultivation system in Java. In the Netherlands these days he is famous for other work, but his early work on Java in the nineteenth century should not be Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan Opium oleh Pemerintah India-BelandaB R HutagalungHutagalung, Batig Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan Opium oleh Pemerintah Cultivation System and 'Agricultural InvolutionR E Elson, 1978. The Cultivation System and 'Agricultural Involution'. Melbourne Monash University.
kanstruktur penguasaan tanah yang kondusif untuk membangun sistem usaha pertanian tangguh. Secara teoritis, lahirnya Tap tersebut persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang Iuasnya hanya 6,9 persen dari luas daratan Indonesia. Pada tahun 2000 kepadatan pen- rapan Menurut Kelompok Pemilikan Sawah di Daerah Pesawahan DAS Brantas, 1999/
ArticlePDF AvailableAbstractIntroductioan The Western Seram Islands have various customary rights that grow and develop in the lives of indigenous peoples and it becomes a rule that is believed by them, so that it becomes a law that binds them in determining their ownership rights to their customary of the Research This study aims to determine how the position of customary land ownership rights in the national land law system, and what is the legal basis and the way in which customary land ownership rights occur according to customary of the Research This study uses the normative legal research method, which aims to find out how the position of ownership rights over customary land in the national land law system in the areas of Taniwel Timur, Negeri Maloang and Negeri Sohuwe, West Seram Regency, Maluku Province, and to understand what the legal basis and How to Have Land Ownership Rights According to Customary Law in the Taniwel Timur District, Maloang State and Sohuwe State, West Seram Regency, Maluku of the Research In principle, ownership of land rights by a member or group of customary law communities, whether individual or communal / group, has a very binding power de jure and de facto. The principle of ownership in the provision of de jure guarantees in the sense that the customary law community recognizes that if ownership rights are obtained by means of the permission of the head of the association Kepala Adat or Kepala Soa, to open and manage land for customary law communities it can be said to be a legal act that is legal according to law. adat as long as it does not contradict the prevailing customary law norms, and the principle of ownership in a de facto manner, namely that the principle of ownership has been obtained from generation to generation. This is what the local government must pay attention to in terms of recognition of rights by customary law communities in West Seram District, Maluku Province. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 62 Lisensi Creative Commons Atribusi-NonCommercial Internasional Hak Milik Atas Tanah Adat Di Wilayah Kepulauan Mispa Christian Science Paisina 1, Adonia Ivone Laturette 2, Novyta Uktolseja 3 1,2,3 Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia. paisinamispa xxxxxxxxxxxxxxxx Keywords Right of Ownership; Indigenous Peoples; Customary Land. Introductioan The Western Seram Islands have various customary rights that grow and develop in the lives of indigenous peoples and it becomes a rule that is believed by them, so that it becomes a law that binds them in determining their ownership rights to their customary land. Purposes of the Research This study aims to determine how the position of customary land ownership rights in the national land law system, and what is the legal basis and the way in which customary land ownership rights occur according to customary law. Methods of the Research This study uses the normative legal research method, which aims to find out how the position of ownership rights over customary land in the national land law system in the areas of Taniwel Timur, Negeri Maloang and Negeri Sohuwe, West Seram Regency, Maluku Province, and to understand what the legal basis and How to Have Land Ownership Rights According to Customary Law in the Taniwel Timur District, Maloang State and Sohuwe State, West Seram Regency, Maluku Province. Results of the Research In principle, ownership of land rights by a member or group of customary law communities, whether individual or communal / group, has a very binding power de jure and de facto. The principle of ownership in the provision of de jure guarantees in the sense that the customary law community recognizes that if ownership rights are obtained by means of the permission of the head of the association Kepala Adat or Kepala Soa, to open and manage land for customary law communities it can be said to be a legal act that is legal according to law. adat as long as it does not contradict the prevailing customary law norms, and the principle of ownership in a de facto manner, namely that the principle of ownership has been obtained from generation to generation. This is what the local government must pay attention to in terms of recognition of rights by customary law communities in West Seram District, Maluku Province. Kata Kunci Hak Milik; Masyarakat Adat; Tanah Adat. Latar Belakang Kepulauan Seram Bagian Barat terdapat berbagai hak adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat hukum adat dan itu menjadi sebuah aturan yang diyakini oleh mereka, sehingga menjadi suatu hukum yang mengikat mereka dalam menentukan hak milik atas tanah adat mereka. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hak milik atas tanah adat dalam sistem hukum tanah nasiona, dan apa landasan hukum dan cara terjadinya hak milik atas tanah adat menurut hukum adat. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang bertujuan Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hak milik atas tanah adat dalam sistem hukum tanah nasional di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Pattimura Magister Law ReviewVolume 1 Nomor 2, September 2021 h. 62 â 72 E-ISSN 2775 - 5649 E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 63 Negeri Sohuwe, Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dan Untuk memahami apa yang menjadi landasan hukum dan cara terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Hasil Penelitian Pada prinsipnya kepemilikan hak atas tanah oleh suatu anggota atau kelompok masyarakat hukum adat baik bersifat individu maupun bersifat komunal / kelompok mempunyai kekuatan yang sangat mengikat secara de jure maupun secara de fakto. Prinsip kepemilikan dalam pemberian jaminan secara de jure dalam arti bahwa masyarakat hukum adat mengakui apabila hak kepemilikan yang diperoleh secara izin kepala persekutuan Kepala Adat atau Kepala Soa, untuk membuka dan mengelolah tanah bagi masyarakat hukum adat dapat dikatakan suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan norma â norma hukum adat yang berlaku, dan prinsip kepemilikan secara de fakto yaitu bahwa prinsip kepemilikan yang diperoleh itu, sudah diperoleh secara turun â temurun. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam hal pengakuan hak oleh masyarakat hukum adat di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. 1. Pendahuluan Keberadaan masyarakat hukum adat merupakan bagian dari keberadaan Indonesia sebagai bangsa. Masyarakat hukum adat merupakan unsur esensial masyarakat hukum nasional dalam lingkup negara Republik Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk plural terdiri atas ratusan suku bangsa, bahasa, dan lingkungan masyarakat adat yang tersebar di ribuan pulau besar dan pulau kecil. Pada sebaran pulau besar dan pulau kecil inilah hidup masyarakat adat yang memiliki norma hukum tersendiri. Masyarakat adat yang merupakan lingkungan masyarakat yang masih sederhana dan melekat dengan alam di sekitar hutan menjadi bagian penting dari keberadaan bangsa kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, untuk mempertahankan kehidupannya, mereka selalu bergantung kepada keberadaan tanah yang dianggap sebagai sumber penghidupan, atau dengan kata lain tempat berkembang biakan semua mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu tanah bagi masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku adalah suatu benda yang harus dijaga, dilestarikan, diamankan dengan demikian akan menjadi hak miliki mereka sendiri untuk kelangsungan hidup mereka. Didalam Undang â Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Pasal 3 Bahwa âPelaksanaan hak ulayat dan hak â hak yang serupa itu dari masyarakat â masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas Hendra Nurtjahtjo and Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Berperkara Di Mahkamah Konstitusi Jakarta Salemba Humanika, 2010, h. 3. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 64 persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang â undang dan peraturan â peraturan lain yang lebih tinggiâ. Sejalan dengan itu maka tanah sebagai objek lahan pengelolaan sumber daya alam mempunyai arti yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dan pembangunan sebagai sarana utama. Tanpa tanah tidak mungkin ada pembangunan infrastruktur, industry, perumahan, pariwista maupun perkebunan yang skala besar. Sebagian besar kehidupan masyarakatr hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohhuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, sangat bergantung pada tanah. Dalam lingkungan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, tanah sangat istimewa kedudukannya, sebagai tempat mendirikan bangunan, tempat memberi makan, tempat mereka dikuburkan, mempunyai nilai spiritual dimana mereka dapat berhubungan dengan leluhurnya, karena pentingnya tanah bagi kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, pemilikan hak atas tanah sesuai pula dengan kodrat hakikat manusia. Manusia pada hakikatnya besifat privat dan kolektif. Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf ulung Abad Pertengahan mengatakan manusia menurut kodratnya bersifat individual dan sosial. Itulah sebabnya dalam pemilikan atas suatu benda, termasuk pemilikan atas tanah, kedua dimensi tersebut bisa terpadu secara berbeda halnya dengan terjadinya hak milik berdasarkan hukum adat yang hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang diamanatkan pada Pasal 22 ayat 1 UUPA untuk mengatur mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat tersebut, untuk itu Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat secara normative harus membuat sebuah legalitas pengakuan tentang perlindungan terhadap hak milik atas tanah adat di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang â Undang Pokok Agraria Pasal 22 ayat 1 yang berbunyi âterjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintahâ. Sehingga hal ini tidak berpotensi menimbulkan multi tafsir mengenai hal tersebut yang cenderung berpotensi menimbulkan dampak negative bagi warga masyarakat hukum adat Kabupaten Seram Bagian Barat terkhusus masyarakat hukum adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe dalam hal menguasai tanah berdasarkan hukum adat yang sudah menjadi landasan hukum dalam kehidupan sehari â hari secara turun - temurun. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai apa yang menjadi landasan hukum bagi masyarakat hukum adat di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe terkait dengan hak milik atas tanah adat, yang secara normative belum ada pengakuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Dan bagaimana cara terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat selama peraturan pememerintah Kabupaten Seram Bagian Barat yang Adonia Ivone Laturette, âHak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasionalâ Universitas Airlangga, 2011, h. 1. Sony A Keraf, Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi Yogyakarta Kanisius, 2001, h. 23. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 65 dimaksud belum lahir, serta bagaimana kedudukam hak milik yang terjadi berdasarkan hukum adat dalam sistem hukum tanah nasional. 2. Metode Penelitian Penelitian hukum yang dipakai oleh penulis berdasarkan permasalahan yang diteliti adalah penelitian dengan metode penelitian hukum ânormativeâ. Metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum keputusan adalah metode atau cara yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif norma hukum yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahap kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subyektif hak dan kewajiban. Sehingga dapat mengetahui kedudukan wilayah petuanan masyarakat adat di wilayah kepulauan terkhusus kepulauan Seram Bagian Barat, Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dalam aspek yuridis. Barkaitan dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif, asas â asas hukum, prinsip â prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Olehnya itu, penelitian ini selain utamanya mengkaji ketentuan â ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum akan tetapi juga menggunakan sedikit kajian hukum âYuridis/sosiologisâ yang bertujuan untuk mengkontruksikan tata hukum adat agar dapat mencari fakta dan pembenaran yuridis masalah atas permasalahan hukum, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian memberikan persepsi mengenai apa yang seyogyanya atas permasalahan hukum dari penelitian yang dilakukan. Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalahPendekatan Undang-Undang Statute pproach, Pendekatan historis Historical approach, Pendekatan kompratif Commparative approach, Pendekatan konseptual Conseptual approach. 3. Hasil dan Pembahasan Kedudukan Hak Milik Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Hukum Tanah Nasional Hukum Agraria Nasional bersumberkan pada hukum adat, dalam sistem hukum adat dikenal ada dua macam hak atas tanah yaitu Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta Raja Grafindo Persada Jakarta Rajawali Pers, 2015, h. 13-14. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, 2016, h. 93. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 66 1 Hak atas tanah yang dikuasai secara bersama oleh suatu masyarakat adat, yang dalam istilah teknis yuridis disebut hak ulayat. 2 Hak tanah yang dikuasai secara perorangan. Hak ulayat merupakan hak masyarakat hukum adat atas segala sumber daya agrarian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak ulayat lahir bukan karena diciptakan oleh putusan pejabat tetapi tumbuh dan berkembang serta juga dapat lenyap sesuai dengan keberadaan dan perkembangan kehidupan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat â syarat tertentu, yaitu, eksistensi dan mengenai pelaksanaanya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah â daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak dihidupkan kembali. Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut âPelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasrakan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang â Undang dan peraturan â peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum Angka H/3 disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luasâ. Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agrarian nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam pembentukan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga â lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak â hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwaâHukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan â peraturan yang tercantum dalam undang â undang ini, dan dengan peraturan perundang perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur â unsur yang berdasarkan pada hukum agamaâ. Lebih dari itu, dalam mukadimah UUPA 1960 dinyatakanâBahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan â pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur â unsur yang berdasar pada hukum agamaâ. A P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria Bandung Mandar Maju, 2008, h. 24. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 67 Landasan Hukum dan Cara Terjadinya Hak Milik Atas Tanah Adat Menurut Hukum Adat Indonesia sebagai Negara Agraria pertanian yang mempunyai sumber alam yang melimpah, akan tetapi kekayaan yang demikian besar sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa itu belum dapat dinikmati oleh rakyat, nampaknya kekayaan alam itu dimiliki oleh sebagian kecil orang Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 adalah Negara hukum konstitusional yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga Negara, antara lain hak warga Negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak milik. Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi Negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria. Hak milik sebagai suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum UUPA maupun dalam UUPA. Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Poko Agraria menyebutkan bahwa terjadi hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 22 disebut âsebagai missal dari cara terjadi hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negaraâ. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat dimaksudkan agar tidak menimbulkan kerugian terhadap kepentingan umum dan Negara. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya di sebut UUPA tersebut hingga saat ini belum lahir sehingga belum mempunyai dasar hukum berupa ketentuan perundang-undangan mengenai cara terjadinya hak milik menurut hukum adat namun tidak berarti bahwa terjadinya hak milik menurut hukum adat tidak mempunyai landasan hukum. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria selanjtunya disebut UUPA disebutkan bahwa hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sasialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Oleh karena itu dalam hal belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara terjadinya hak milik menurut hukum adat maka yang berlaku adalah hukum adat itu sendiri yang tentunya dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 5 UUPA. Cara Terjadinya Hak Milik Atas tanah Adat Menurut Hukum Adat Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 tiga cara sebagaimana diatur dalam pasal 22 UUPA yaitu 1 Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat. 2 Hak milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah. Suryani Sappe, Adonia Ivonne Laturette, and Novyta Uktolseja, âHak Pakai Atas Tanah Hak Milik Dan Penyelesaian Sengketa,â Batulis Civil Law Review 2, no. 1 2021 78â92, E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 68 3 Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan undang â undang. Namun dalam penelitin ini, penulis lebih memperhatikan hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat, terjadi hak milik atas tanah adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, berawal dari peperangan yang terjadi pada jaman dahulu yang mana terjadi peperangan itu karena terjadi perebutan wilayah kekuasan antara persekutuan masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain bukan yang berasal dari satu lingkungan persekutuan masyarakat adat demi tempat tinggal dan untuk kelangsungan hidup mereka. Dengan demikian siapa yang kuat dalam peperangan tersebut akan menguasai dan memiliki wilayah termasuk tanah yang sangat luas sesuai dengan batas kekuasaan berperang. Sebuah peristiwa yang terjadi jaman dahulu tumbuh dan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat adat, dan lahir menjadi suatu peristiwa hukum berdasarkan kebiasaan masyarakat adat, maka di jadikan sebagai suatu aturan hukum bagi masyarakat adat yang mereka yakini dan percayakan sebagai hukum dalam persekutuan masyarakat adat di negeri Maloang dan negeri Sohuwe sampai saat ini, terkait dengan hak milik atas tanah adat yang awal mulanya lahir dari hasil peristiwa peperangan antara sesama kelompok persekutuan masyarakat adat pada jaman dahulu. Hak milik adat secara original tumbuh dan berkembang dari hak yang paling rendah tingkatannya, yaitu hak menandai tanah atau hutan. Pertumbuhan perkembangan hak tersebut berlangsung berdasarkan kaedah â kaedah hukum setempat. Dalam hukum tanah adat pulau Seram Kabupaten Seram Bagian Barat Kecamatan Tiniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, hak milik tumbuh dan berkembang dengan tahapan sebagai berikut a Hak milik tanah Soa. b Hak milik tanah Marga. c Hak milik tanah Negeri. d Hak milik tanah Perseorangan / individu. Penelitian ini penulis lebih mendepankan hak milik komunal atau hak milik bersama antara persekutuan masyarakat hukum adat di kedua negeri, setiap warga masyarakat hukum adat dapat dengan bebas menggunakan tanah sesuai dengan hak yang telah disepakati bersama dalam kelompok persekutuan masyarakat hukum adat di negeri Maloang dan negeri Sohuwe Kecamatan Taniwel Timur Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Bagi anggota persekutuan yang bukan berasal dari kedua negeri ini tidak berkenaan untuk memiliki hak atas tanah yang dimilik oleh persekutuan masyarakat hukum adat di kedua negeri ini, namun apabila diberi ijin oleh kepala adat, raja negeri dan masyarakat adat maka dia bisa menggunakan tanah tersebut untuk bercocok tanam atau membuka usaha di tanah tersebut, namun satatus tanah yang di gunakan hanyalah sebagai hak pakai bukan menjadi hak milik karena tanah u=yang digunakan berstatus hak milik tanah adat, dan apabila dikemudian hari dikembalikan oleh lembaga adat maka mereka harus mengembalikannya kepada lembaga adat tanpa meminta pergantian kerugian kepada E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 69 lembaga adat. Adapu tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat di gunakan untuk berkebun, dan di sewakan. Menurut Maria Sumardjono mengatakan hak ulayat sebagai istilah teknik yuridis adalah hak yang lekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang / kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya, dengan daya berlaku ke dalam dan keluar. Adapun hukum tanah adat sendiri adalah keseleruhan ketentuan â ketentuan hukum, ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama, yaitu hak â hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga â lembaga hukum dan sebagai hubungan â hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi suatu kesatuan yang merupakan satu sistem Tanah-tanah yang sudah di tetapkan berdasarkan kesepakatan bersama oleh Kepala Adat, Kepala Soa, dan Masyarakat Hukum Adat, tidak dapat dibatalkan lagi. Karena menurut aturan adat yang mereka yakini bahwa sesuatu yang sudah di putuskan atau sudah di sepakati bersama dalam pertemuan adat, sudah menjadi ikatan dan tidak dapat di batalkan dan di langgar oleh siapapun, dengan demikian maka tanah yang sudah di tetapkan dapat menjadi hak milik persekutuan masyarakat hukmum adat, dan tanah â tanah tersebut diberi tanda batas. Benda â benda yang digunakan sebagai tanda batas yaitu 1 Gunung. 2 Batu besar. 3 Pohon kayu yang besar. 4 Air atau kali. Setiap tanah-tanah yang sudah diberikan tanda batas oleh persekutuan masyarakat hukum adat, batas tersebut tidak dapat dilewati oleh anggota persekutuan masyarakat lainnya, dan apabila di lewati batas yang sudah di berikan tanda, maka anggota persekutuan masyarakat hukum adat akan mendapat sanksi sesuai dengan aturan adat mereka. Bagi masyarakat hukum adat dapat dengan bebas mempergunakan tanah adat namun tidak dimiliki secara individu. a. Hak Milik Tanah Soa. Tanah Soa ini dimiliki oleh beberapa marga yang tergabung dalam soa tersebut, misalnya di desa Sohuwe Soa Latu ini terdiri dari beberapa marga yaitu, marga Sea, marga Latununuwe, dan beberapa marga pendatang yang kawin masuk ke negeri. Secara hak milik atas tanah adat di negeri ini, yang berhak atas tanah tersebut hanya meraka yang berada dalam persekutuan soa ini saja, tidak diperbolehkan maraga lain yang bukan berasal dari persekutuan soa tersebut masuk untuk memiliki tanah dalam persekutuan mereka, dengan demikian tanah milik soa hanya dapat di miliki oleh anggota persekutuan saja, tidak bisa di milik oleh anggota yang bukan berasal dari persekutuan soa tersebut. Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi Jakarta Kompas, 2001, h. 55. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 70 Antara persekutuan dengan tanah yang mendudukinya itu hubungan yang erat sekali, hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan anggota persekutuan masyarakat hukum adat memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. b. Hak Milik Tanah Marga Tanah marga hanya di milik oleh marga â marga tertentu yang secara keturunan dia berasal dari marga tersebut. Tanah marga juga bisa dimiliki oleh anggota dari persekutuan soa, misalnya dalam soa latu atau soa besar terdapat marga marayate atau latununuwe, kedua marga tersebut juga bisa memiliki hak atas tanah adat yang berada dalam persekutuan marga. Untuk itu, tanah marga juga bisa di miliki oleh anggota persekutuan soa lain yang berstatus marganya yang sama. c. Tanah Negeri atau Tanah Dati Tanah ini di pergunakan untuk kepentingan bersama misalnya, ada seorang wanita atau pria yang kawin masuk mereka akan di ijinkan untuk menggunakan tanah negeri sebagai lahan bercocok tanam, namun kesemuaannya itu harus dengan ijin dari kepala adat, saniri negeri, raja negeri dan masyarakat setempat, tetapi tidak bisa di ambil sebagai hak miliknya, hanya bersifat hak pakai . Hak negeri atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. Seperti apa yang di amanatkan dalam pasal 6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa âsemua hak atas tanah mempunyai fungsi socialâ. d. Tanah Perorangan / Individu Tanah milik perorangan ini lahir dari tanah marga, yang mana secara adat tanah tersebut sudah di berikan kepada seseorang dari marga tersebut untuk di miliki secara pribadi. Tanah milik perorangan ini juga lahir dari jual beli tanah adat antara masyarakat hukum adat dan juga masyarakat yang bukan masyarakat hukum adat setempat. Hak milik atas tanah dari seseorang masyarakat hukum adat yang membuka dan mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah, bahwa warga yang mendiami tanah itu berhak sepenuh-penuhnya atas tanahnya tetapi dengan ketentuan wajib menghormati hak ulayat negerinya, di pandang dari perspektif hukum adat setempat. Menurut Pasal 22 UUPA, hak milik menurut hukum adat harus diatur dengan peraturan Pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Seorang warga persekuatan masyarakat hukum adat dari kedua negeri tersebut berhak untuk membuka lahan dan mengerjakan lahan itu terus-menerus dan menanam tanaman di atas tana tersebut sehingga sehingga ia mempunyai hak pakai atas tanah. Hak pakai ini dapat diperoleh meskipun hak Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif Malang Malang Bayu Media Publishing, 2006, h. 307. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 71 mengerjakan tanah itu praktis walaupun bertahun-tahun tidak menjadi persoalan bagi persekutuan masyarakat hukum adat. Tanah adat yang berada dalam penguasaan dan kepemilikan secara komunal diatur sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku pada masing-masing wilayah hukum adat. Tanah petuanan adalah hak negeri terhadap seluruh petuanan dan merupakan hak atas tanah menurut hukum adat. Oleh karena itu semua anak negeri mempunyai hak untuk mempergunakan dan memanfaatkannya sebagaimana metinya berdasarkan ketentuan â ketentuan adat di kedua Negeri tersebut Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe. Pada prinsipnya kepemilikan hak atas tanah oleh suatu anggota atau kelompok masyarakat hukum adat baik bersifat individu maupun bersifat komunal / kelompok mempunyai kekuatan yang sangat mengikat secara de jure maupun secara de fakto. Prinsip kepemilikan dalam pemberian jaminan secara de jure dalam arti bahwa masyarakat hukum adat mengakui apabila hak kepemilikan yang diperoleh secara izin kepala persekutuan Kepala Adat atau Kepala Soa , untuk membuka dan mengelolah tanah bagi masyarakat hukum adat dapat dikatakan suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma hukum adat yang berlaku, dan prinsip kepemilikan secara de fakto yaitu bahwa prinsip kepemilikan yang diperoleh itu, sudah diperoleh secara turun-temurun. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam hal pengakuan hak oleh masyarakat hukum adat di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Kesimpulan Landasan yang menjadi dasar terjadinya hak milik adat atas tanah masyarakat hukum adat adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum adat pada umumnya dan kaedah-kaedah hukum adat setempat. Prinsip-prinsip atau asas-asas hukum adat pada umum terdapat sama dalam semua lingkungan hukum adat sedangkan kaedah-kaedah hukum adat setempat merupakan adat setempat merupakan hukum adat yang berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang dapat saja berbeda dengan lingkungan hukum adat lainnya. Secara substansi hak milik yang lahir berdasarkan hukum adat hak milik masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan yang sama dengan hak milik yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah hak milik, perbedaannya hanya terletak pada bukti kepemilikan. Bukti kepemilikan hak milik atas tanah yang lahir berdasarkan hukum adat yaitu bukti penguasaan fisik dan pengakuan warga masyarakat hukum adat setempat, sedangkan bukti kepemilikan yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah adalah berupa sertifikat. Karena itu apabila hak milik atas tanah masyarakat hukum adat didaftarkan kepada kantor pertanahan maka atas tanah tersebut akan diterbitkan juga sertifikat hak milik sebagaimana halnya hak milik yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah. Referensi Ibrahim, Johnny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang Malang Bayu Media Novyta Uktolseja, âPerkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambonâ Disertasi Universitas Airlangga, 2015, h. 65. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 72 Publishing, 2006. Keraf, Sony A. Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi. Yogyakarta Kanisius, 2001. Laturette, Adonia Ivone. âHak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional.â Universitas Airlangga, 2011. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum,. Jakarta Kencana, 2016. Nurtjahtjo, Hendra, and Fokky Fuad. Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Berperkara Di Mahkamah Konstitusi. Jakarta Salemba Humanika, 2010. Parlindungan, A P. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung Mandar Maju, 2008. Sappe, Suryani, Adonia Ivonne Laturette, and Novyta Uktolseja. âHak Pakai Atas Tanah Hak Milik Dan Penyelesaian Sengketa.â Batulis Civil Law Review 2, no. 1 2021 78â92. Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta Raja Grafindo Persada. Jakarta Rajawali Pers, 2015. Sumardjono, Maria S. W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta Kompas, 2001. Uktolseja, Novyta. âPerkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon.â Disertasi Universitas Airlangga, 2015. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this SappeAdonia Ivone LattureteNovyta UktolsejaThe process of the occurrence of use rights over land is based on statutory regulations and government regulations to prevent misuse of the administration process. However, in this era of increasingly modern life, there are many disputes relating to control and use of land for public, individual and private interests. The right to use is not at all a new land rights institution, but it is less well known than the ownership rights, land use rights, or building use rights, for that it requires a correct understanding of the right to use in order to use it responsibly. The purpose of this paper is to study and analyze the arrangements for use rights over land with ownership rights and to study and analyze the process of settling usufructuary disputes over land with ownership rights. The method used in this research is the normative juridical method using the statute approach and the conceptual approach, and the case approach is then studied and used as material for descriptive analysis in order to obtain answers to the problems that occur. The results of the research show that the regulation of use rights over land with ownership rights is very important because, when the right to use stands, buildings or objects become assets of the recipient of the right to use. So when the right of use expires or is canceled it will have a legal effect on the objects on it, thus it is hoped that there must be regulations governing objects or buildings that are included in the relinquishment of use rights even though there is an agreement made by the Sistem Pewarisan Tanah Dati Di AmbonNovyta UktolsejaUktolseja, Novyta. "Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon." Disertasi Universitas Airlangga, Ulayat Dalam Hukum Tanah NasionalAdonia LaturetteIvoneLaturette, Adonia Ivone. "Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional." Universitas Airlangga, Dan Metode Penelitian Hukum NormatifJohnny IbrahimPenelitian Hukum NormatifSoerjono SoekantoSri MamudjiSoekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta Raja Grafindo Persada. Jakarta Rajawali Pers, Pertanahan Antara Regulasi Dan ImplementasiMaria S W SumardjonoSumardjono, Maria S. W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta Kompas, Sistem Pewarisan Tanah Dati Di AmbonJohnny IbrahimIbrahim, Johnny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang Malang Bayu Media 12 Novyta Uktolseja, "Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon" Disertasi Universitas Airlangga, 2015, h. MarzukiMahmudMarzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum,. Jakarta Kencana, 2016.
Jikarata-rata keluarga petani di Jawa mengelola 0,4 hektar tanah maka dengan pembangunan tol Trans Jawa ini akan ada 1.638.500 rumah tangga tani yang akan kehilangan tanah garapan dan sumber penghidupannya.2 Rencana pembangunan jalan tol ini dilakukan dengan menggunakan hutang dari Asian Develpment Bank (ADB) sebesar 500 juta US$.
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman fa atan tanah berdasarkan aturan normative ataupun secara alami atas tanah. Adapun pengelolaan pertanahan khususnya di Pulau Jawa berdasarkan historis yuridis, dibagai dalam beberapa tahapan, yaitu a. Pengelolaan Pertanahan Tradisional Adat di Jawa Bagian Tengah Landasan pikir awal untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham 19845 yakni menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa atasnya. Dalam Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 23 penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional ini yakni tanah narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage Wasino, 20051-2. Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat. Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi di daerah Kedu Barat, Bumija di daerah Kedu Timur, Numbak Anyar di daerah Bagelen timur, Penumping daerah sebelah barat Surakarta, serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang Wasino, 200518. Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag Wasino, 200529; Suhartono, 199129. Bumi pamajegan merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi. Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi sebagai pengganti jerih payah dari raja mereka mendapat Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 24 ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh. Dari hasil bumi tanah tersebut para pejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan kepada kas kerajaan Pesponegoro dan Notosusanto [ 1984 20. Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh 1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya16. Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bĂȘkĂȘl sebagai pengelola tanah lungguh. BĂȘkĂȘl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional. b. Pengelolaan Pertanahan Masa Kolonial di Pulau Jawa Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuknya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 16 Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage adalah jung kira-kira m2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 25 terjadilah perubahan-perubahan pola penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan penguasaan pribadi. Awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC17. Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak dan Pesisir Timur Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura. Akan tetapi secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat. Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Gubernur Jenderal Deandles berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa 17 Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 26 wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia 1811-1816 di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama Land Rent Sistem Sistem Sewa Tanah dengan dengan 3 tiga azas pengelolaan tanah18. Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC Wasino, 2005 5. Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat Wasino, 20056. Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasa an tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan 18 3 tiga azas sistem sewa tanah Raffles, yakni 1 segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan jenis tanaman, 2 peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, 3 pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 27 Ong Hok Ham, 19843. Hal ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah mancanegara Suhartono, 199175. Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa cultuurstelsel oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hukum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik negara Wasino, 20056. Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870 dan pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad Lembaran Negara Nomor 102 Tahun 1885 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Setelah tahun ini sistem liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang mempunyai azas yang sangat berbeda dengn pola penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat Jawa pada Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 28 umumnya masih bersifat komunal, dalam Undang-undang ini mengatur kearah indivindualistis. Diantaranya 1.Memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. 2.Dimungkinkannya untuk memiliki hak mutlak atas tanah hak eigendom termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing. 3.Sistem penguasaan tanah di Jawa yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. 4.Gubernur Jenderal van Heutz secara bertahap menghapuskan sistem apanage pada kurun waktu 1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan. 5.Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggaduh pinjam sementara telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe milik secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern 6.Dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17 Oktober 1930 tentang pengakuan hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 29 hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Suhartono, 1991 96-101. c. Pengelolaan Pertanahan Setelah Kemerdekaan di Yogyakarta Terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa perubahan eksistensi Kasultanan Yogyakarta yang semula merupakan bagian dari wilayah pemerintah Hindia Belanda, kemudian Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono IX maupun Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII19, menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia20. Untuk 19 Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman sesungguhnya sejak saat itu sudah bergabung menjadi satu daerah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Pangeran Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur. Pengesahan penggabungan kedua daerah kekuasaan tersebut disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta. 20 Amanat Sri Paduka Ingkang Sinumuwun Kanjeng Sultan Kami, Hamengkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat menyatakan 1 Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2 Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. 3 Bahwa hubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini. Ngajogjokarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe, 1877 5 September 1945 HAMENGKUBUWONO Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 30 mengatur urusan pertanahan sejak tahun 1946, dikeluarkan berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah, antara lain Maklumat Nomor 13 tahun 1946 tentang tanah negeri dan berdasarkan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat kewenangan untuk mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya sendiri, salah satu diantara urusan yang menjadi kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bidang keagrariaan/pertanahan Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 secara nasional pada tanggal 24 September 1960. Kewenangan keagrariaan seharusnya berada pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat, tetapi dalam pelaksanaan penghapusan tanah-tanah swapraja sebagaimana diatur dalam Diktum Keempat A UUPA yang menyatakan bahwa hak dan wewenang atas bumi dan air, swapraja dan bekas swapraja beralih pada negara sejak berlakunya UUPA, dan dalam Diktum Keempat B akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini Peraturan Pemerintah tersebut tidak segera diwujudkan. Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 31 ketentuan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954. Dalam penjelasan umum, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto penjelasan pasal 11 dinyatakan bahwa, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengatur masalah pertanahan harus berdasarkan prinsip atau asas domein sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblaad Pakualaman Tahun 1919 Nomor 18, di mana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah milik/domain kerajaan/Kraton Yogyakarta. Penguasaan tanah oleh Sultan Yogyakarta didapat sebagai pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian yang diadakan di Desa Giyanti sehingga dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti pada tahun 13 Februari 1755. Setelah adanya perjanjian Giyanti, maka Sultan Hamengku Buwono mempunyai hak milik domein atas tanah di wilayah barat Kerajaan Mataram dan hal ini tetap harus hidup dalam kesadaran hukum masyarakat KPH. Notojudo, 1975 4-5, sehingga di seluruh wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan tegas diberlakukan asas domein. Asas ini merupakan pernyataan sepihak dari Sultan. Seperti yang termuat dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarben ing liyan, mawa wenang eigendom, dadi bumi kagungane Kraton Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 32 Ingsun Ngayogyakarta. atau Semua tanah yang tidak ada tanda kepemilikan orang lain maupun wewenang eigendom, adalah milik Sultan Hak eigendom dan hak opstal yang bisa dimiliki oleh rakyat adalah berpangkal pada pasal 570 BW, peraturan tersebut merupakan ketentuan yang dikeluarkan pihak pemerintah Hindia Belanda. Hal ini bisa diberlakukan di wilayah Kasultanan Yogyakarta karena adanya ikatan kontrak politik yang berlangsung hingga tahun 1940. Selanjutnya setelah seluruh tanah selain yang dilekati dengan hak eigendom dinyatakan milik kraton, diantaranya diserahkan kepada 1.Konsekuensi dari diberlakukannya asas domein tersebut maka rakyat yang tidak mempunyai hak eigendom, untuk masyarakat kota[raja penguasaan tanahnya adalah dengan hak anggaduh yaitu penguasaan dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiganya hasil tanahnya jika merupakan tanah pertanian dan apabila berupa tanah pekarangan, maka mereka dibebani kerja tanpa upah untuk kepentingan Raja Boedi Harsono, 1968 56 . Untuk selanjutnya berdasarkan RB Kasultanan Yogyakarta 1925 Nomor 23 dan RB Kadipaten Pakulaman 1925 Nomor 25, warga masyarakat di Kotapraja diberikan hak andarbe . sedangkan warga masyarakat di pedesaan luar kotapraja diberikan hak anganggo turun temurun. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 33 2.Untuk desa atau kalurahan yang sudah ada dan dibentuk diberikan dengan hak andarbe atau tanah hak milik desa21, dengan pengaturannya sebagai berikut a Hasil dari penggunaan dan pemanfaaan tanahnya untuk pembiayaan administrasi desa/kalurahan dengan status Tanah Kas Desa. b Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya yang dipergunakan untuk penmghasilan perangkat desa pamong dengan status Tanah Bengkok/Lungguh c Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya untuk mantan perangkat desa pamong dengan status Tanah Pengarem-arem, dan d Tanah desa lainnya untuk kepentingan umum seperti jalan, lapangan, pengembalaan, makam, dsb. e Tanah domein bebas yang penggunaan dan pemanfaatannya berupa hutan belukar, terlantar, dan tanah yang tidak dapat dimanfaatkan. Permasalahannya sampai saat ini dari pengukuran kadastral dan pelacakan yang dilaksanakan sejak 1993 hingga 2000 Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional serta perangkat desa, 21 Untuk penduduk Kotapraja Yogyakarta Dapat Diberikan Hak Milik Atas Tanah, sedangkan untuk luar kotapraja yang dapat memiliki Hak Milik Atas Tanah adalah Kalurahan sekaranag desa atau Dorps Beschikkingrecht. Untuk penduduk hanya dapat diberikan Hak Pakai Turun-temurun atau Erfelijk Individueel Gebriksrecht. Selo Sumardjan, 1986, Tanggapan Atas Disertasi Berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 34 baru dapat mendata hektar tanah-tanah Sultanaat Ground SG atau Siti Kagungandalem dan Pakualaman Ground PAG22. Untuk memberi solusi dalam pendaftaran tanah telah dikeluarkan Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 21 Oktober 2003 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakart, diantarnya berisi tentang persyaratan permohonan hak atas tanah di atas Sultan Ground ataupun Pakualaman Ground, dapat didaftarkan dengan hak atas tanah sesuai dengan UUPA di atas tanah Sultan Ground/Pakualaman Ground. 22 Surat Kakanwil BPN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Bapak Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, tanggal 13 Februari 1999, perihal Penertiban tanah-tanah Swapraja di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 35 Refleksi Sejarah dan Politik Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta Secara tradisional Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Kasultanan Mataram adalah pemilik atas tanah yang ada di dalam daerah kekuasaan atau wewengkon-nya Uraian pada bagian ini berdasarkan pada Soemarsaid Moertono, 1963; Soeripto, 1929; Rouffaer, 1931 kecuali apabila disebut secara khusus. Dalam Adatsrechtbundel Jilid XXXIV, menyebutkan bahwa wilayah Kasultanan Mataram lama dapat dibedakan menjadi tiga bagian23 yaitu a. Negara, ibukota kota istana yang menjadi pusat segala kehidupan yang mencakup masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. b. Nagara-gung yang secara harafiah berarti kota besar. c. Mancanegara, yaitu daerah di luar Nagara. Dalam perkembangannya, setelah terjadi penyerangan masyarakat Cina yang disebut Geger Pacinan dengan penyerangan ibu kota Kasultanan Mataram di Kartosuro pada tahun 1742 dan mangkatnya Sri Sunan Paku Buwono II pada tahun 1749, diangkatnya Pangeran Adipati Anom sebagai Sri Sunan Paku Buwono III. Dalam kondisi peperangan melawan kumpeni. Dikarenakan keleLahan dalam peperangan, maka diadakan 23 Suyitno, Tanah Kasultanan Yogyakarta SG dan Pakualaman PAG. Tinjauan Historis-Yuridis. Tidak dipublikasikan. Dipresentasikan di Balai Senat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 14 Februari 2009. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 36 perundingan antara Gubernur dengan Pangeran Mangkubumi di Gianti pada tanggal 13 Februari 175524. Dalam melaksanakan pekerjaan penggarapan tanah, Sultan mengatur penggunaan tanah berdasarkan Pranatan Patuh 1863 atau kepatuhan/ kebekelan yang menggunakan sistem apanage. Adapaun pengaturan penggunaan tanah tersebut sebagai berikut 1. Tanah Keprabon Crown Domain Keparabon Dalem atau Tanah mahkota adalah tanah yang penggunaannya diperuntukkan pembangunan istana, alaun-alaun, masjid, taman sari, pesanggrahan atu bangunan pendukung lainnya; Keprabon ini merupakan serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di Ngayogyakarta. Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender pusaka, sedang benda tidak bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil, istana keraton dan lain sebagainya.
. 370 96 50 462 10 44 233 86
sistem pemilikan tanah di pulau jawa